Sabtu
Jenis dan Perbedaan Dana Punia Menurut Hindu-Bali
Dana punia dalam istilah Agama Hindu memiliki dua urat kata yang terdiri dari Dana yang berarti Pemberian, dan Punia yang berarti selamat, baik, bahagia, indah, dan suci. Dana Punia bisa diartikan sebagai pemberian yang baik dan suci dengan tulus ikhlas sebagai salah satu bentuk pengamalan ajaran dharma. Dana punia merupakan suatu sarana untuk meningkatkan sradha dan bhakti kita kepada Tuhan Yang Maha Esa, selain itu dengan berdana punia akan membangun sikap kepedulian kita terhadap sesama.
Jenis-Jenis Dana Punia
Dana punia tidak terbatas hanya materi saja, tetapi bisa juga non-materi. Yang penting dilandasi dengan rasa yang tulus dan ikhlas. Menurut Swami Wiwekananda ada tiga yang termasuk dana punia, yaitu :
Dharmadana : memberikan budi pekerti yang luhur untuk merealisasikan ajaran dharma.
Widyadana : memberikan ilmu pengetahuan.
Arthadana : memberikan materi atau harta benda yang dibutuhkan, asalkan didasari dengan rasa tulus dan ikhlas, serta diperoleh dengan jalan dharma.
Menurut kitab Sang Hyang Kahamayanikan dijelaskan dana punia sebagai berikut :
Dana yaitu pemberian berupa harta benda kepada orang yang membutuhkan.
Atidana yaitu pemberian dengan hati yang tulus dan ikhlas walaupun mengorbankan perasaaan.
Mahatidana yaitu dana punia berupa pemberian dalam bentuk jiwa raga.
Pemberian yang di dasari dengan Punia,tidaklah semata-mata dalam wujud uang . Dapat saja dalam bentuk tenaga , keahlian , dalam wujud waktu , dorongan moral , juga menahan indria atau hawa nafsu .
Berdasarkan jenis pemberian dana punia,dalam sarasamuscaya dana punia dapat di bedakan menjadi :
Dana punia desa yaitu pemberian berupa tempat,desa atau lahan yang digunakan untuk kepentingan umum
Dana punia Agama yaitu dana punia yang berupa ajaran agama,ilmu pengetahuan dan yang lainnya yang menyababkan orang lain menjadi lebih pintar dan memiliki budhi pekerti yang luhur
Dana punia drewya yaitu dana punia yang berupa harta benda yang menjadi kebutuhan.
Dalam Sarasamuçcaya sloka- ,261, 262, 263, demikian pula dalam Ramayana sargah II bait 53, 34 disebutkan bahwa harta yang didapat (hasil guna kaya) hendaknya dibagi tiga yaitu untuk kepentingan:
Dharma 30%
Kama 30 %
Dana harta (modal usaha) 40%.
Manfaat Dana Punia
Manfaat ber dana punia sesungguhnya telah dijelaskan dalam berbagai kitab suci dalam agama Hindu, yaitu sebagai berikut :
Atharwa Weda III.15.6
Berdermalah untuk tujuan yang baik, dan jadikanlah kekayanmu bermanfaat. Kekayaan yang didermakan untuk tujuan luhur tidak pernah hilang. Tuhan Yang Maha Esa memberikan rejeki yang jauh lebih banyak kepada mereka yang mendermakan kekayaannya untuk kebaikan bersama.
Manawa Dharmasastra IV.26
Hendaknya tanpa jemu-jemunya berdana punia dengan penuh sradha dan bhakti yang diperoleh dengan cara dharma, ia akan memperoleh pahala yang setinggi-tinginya.
Atharwa Weda VI.81.1
Wahai umat manusia, bekerja keraslah kamu sekuat tenaga, usir jauh-jauh sifat-sifatmu yang membuat kamu melarat dan sakit. Hendaknya kekayaan yang kamu peroleh dengan kejujuran dapat bermanfaat bagi masyarakat, arahkanlah untuk perbuatan-perbuatan baik dan kesejahteraan masyarakat.
Atharwa Weda III.24.5
Wahai umat manusia, kumpulkanlah kekayaan dengan seratus tangan dan sumbangkanlah kekayaan itu dengan seribu tanganmu, dapatkanlah hasil yang penuh dari pekerjaan dan keahlianmu di dunia.
Reg Weda I.15.8
Hendaknya mereka memperoleh kekayaan dengan kejujuran, dan dapat memberikan kekayaan itu dengan kemurahan hati, mereka tentunya akan dihargai oleh masyarakat. Semogalah mereka tekun bekerja dan meyakini bekerja itu sebagai bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Reg Weda I.125.6
Tuhan Yang Maha Esa menurunkan anugrah kepada orang-orang yang pemurah, suka berdana punia yang dilandasi dengan ketulusan hati. Mereka memperoleh keabadian,rahmat-Nya kekayaan dan panjang usia.
Reg Weda V.34.7
Tuhan Yang Maha Esa tidak akan memberikan anugrah kepada orang-orang yang memperoleh kekayaan dengan tidak jujur. Demikian pula yang tidak mendermakan sebagian miliknya kepada orang-orang miskin dan sangat memerlukan. Tuhan Yang Maha Kuasa akan mengambil kekayaan dari orang-orang yang tamak dan menganugrahkannya kepada orang-orang yang dermawan.
Jadi dapat disimpulkan dengan melakukan Dana Punia secara tulus iklhas akan memberikan manfaat yang luar biasa kepada diri kita dan meningkatkan sradha dan bhakti kita kepada Tuhan Yang Maha Esa serta menumbuh kembangkan sikap kepedulian kita terhadap sesama. Dengan Dana Punia yang tulus ikhlas juga akan memudahkan jalan kita nantinya untuk dapat bersatu kembali kepada-Nya seperti yang dijelaskan dalam Lontar Manawadharmasastra IV.226
sraddhayestam ca purtam ca
nityam kuryada tandritah,
craddhakrite hyaksaye te
bhawatah swagatairdhanaih
Artinya : Hendaknya tidak jemu-jemunya ia berdana punia dengan memberikan hartanya dan mempersembahkan sesajen dengan penuh keyakinan. Memperoleh harta dengan cara yang benar dan didermakan akan memperoleh tempat tertinggi (Moksa)
Semoga artikel ini dapat bermanfaat. Jika terdapat penjelasan yang kurang lengkap atau kurang tepat. Mohon dikoreksi bersama. Suksma…
Jumat
DANA PUNIA - KELUHURAN DAN PENGERTIANNYA
KELUHURAN MANFAAT DANA PUNIA
Banyak dibahas dalam kitab suci kita, antara lain dalam :
Atharwa Weda III.15.6
Berdermalah untuk tujuan yang baik, dan jadikanlah kekayanmu bermanfaat. Kekayaan yang didermakan untuk tujuan luhur tidak pernah hilang. Tuhan Yang Maha Esa memberikan rejeki yang jauh lebih banyak kepada mereka yang mendermakan kekayaannya untuk kebaikan bersama.
Manawa Dharmasastra IV.26
Hendaknya tanpa jemu-jemunya berdana punia dengan penuh sradha dan bhakti yang diperoleh dengan cara dharma, ia akan memperoleh pahala yang setinggi-tinginya.
Atharwa Weda VI.81.1
Wahai umat manusia, bekerja keraslah kamu sekuat tenaga, usir jauh-jauh sifat-sifatmu yang membuat kamu melarat dan sakit. Hendaknya kekayaan yang kamu peroleh dengan kejujuran dapat bermanfaat bagi masyarakat, arahkanlah untuk perbuatan-perbuatan baik dan kesejahteraan masyarakat.
Atharwa Weda III.24.5
Wahai umat manusia, kumpulkanlah kekayaan dengan seratus tangan dan sumbangkanlah kekayaan itu dengan seribu tanganmu, dapatkanlah hasil yang penuh dari pekerjaan dan keahlianmu di dunia.
Reg Weda I.15.8
Hendaknya mereka memperoleh kekayaan dengan kejujuran, dan dapat memberikan kekayaan itu dengan kemurahan hati, mereka tentunya akan dihargai oleh masyarakat. Semogalah mereka tekun bekerja dan meyakini bekerja itu sebagai bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Reg Weda I.125.6
Tuhan Yang Maha Esa menurunkan anugrah kepada orang-orang yang pemurah, suka berdana punia yang dilandasi dengan ketulusan hati. Mereka memperoleh keabadian,rahmat-Nya kekayaan dan panjang usia.
Reg Weda V.34.7
Tuhan Yang Maha Esa tidak akan memberikan anugra kepada orang-orang yang memperoleh kekayaan dengan tidak jujur. Demikian pula yang tidak mendermakan sebagian miliknya kepada orang-orang miskin dan sangat memerlukan. Tuhan Yang Maha Kuasa akan mengambil kekayaan dari orang-orang yang tamak dan menganugrahkannya kepada orang-orang yang dermawan.
Om santih santih santih Om
(sumber Pustaka Hindu)
Kidung Pitra Yadnya - Lengkap dari awal sampai akhir
WAWU SEDA
(Sronca=Guru-Lagu tan Manggeh)
1.Tungtung nieng sunia sara prih,
Pengpeng tayania satata,
Tatasania yata pengpeng,
Prih rasania sunieng tungtung
2.Msat nirang manmata sunia marga
Prastista munggwing rata mega waha,
Ikang watek dewata pada ngiring doh
Haten manonton alawan maha rsi.
NANGININ LAYON
1.Atha sedeng ira mantuk,
Sang sura laga ring hayun,
Tucapa aji wirātān,
Kāryācā nangisi weka,
Pinahajeng ira laywan,
Sang putra nala piniwa,
Pada litu hajeng anwam,
Lwir kandarpa pina telu.
2.Lalu laran niran asasambat,
Putranira pejah,
Laki bini sira sumungkem,
Ring putra lara kinusa,
Ginamel ira ginantikang,
Laywan lagi ginugah,
Inutus ira masabda kapwa
Ajara bibi aji.
3.Hana kaleheng ikang sih,
Yan tunggal kita pejaha,
Kita tiki katingalyus,
Ndyanung panglipura lara,
Syapa tiki palarengkwa,
Muktyang rajya sumiliha,
Ri hilangi tanayang kwadhung,
Ngwang yenaka kapejaha.
4.Nawuwus sira masasambat,
Karwa stray pengalume,
Inari wuwu tkap sang,
Pandawatmaja malara,
Pinahayu kinabehan sampun,
Purnna rinuruban,
Inayut i pajang lek,
Munggwing pancaka gineseng.
NYIRAMANG LAYON
Sronca=Guru-Lagu tan manggeh
1.Ya matangnya haretu haywa soka,
Purihing janma kita nira wasana,
Si hurip kadi mega lahru,
Rinarah ning pati pawakan samira.
2.Taya mulaniking haneng triloka,
Sakareng tawamwah mareng habawa,
Ndyata marma niking hurip katresnan,
Tuhu yawat krettaken katon hanitya.
1.Bala ugu dina melah
manuju tanggal sasih,
Pan Brayut panamaya
asisig adyus akramas,
Sinalinan wastra petak
mamusti madayang batis,
Sampun puput maprayoga
Tan aswe ngemasin mati.
2.Ikang layon ginosongan
ne istrine tuhu satya,
De pamayun matingkah
Eteh-eteh parattra,
Toya hening pabersihan
Misi ganda burat wangi,
Lengis pudak sategal
Sumarganda merbuk harum
3.Pusuh menuhe utama,
Malem sampun macawisan,
Tekaning edon intaran,
Bebek wangi lengis kapur
Monmon mirah widusara
Waja meka panca datu
Don tuwung sampun masembar
Saikapa kalawan taluh.
4.Buku-buku panyolasan
Pagemelane salaka
Kawangene panyelawean,
Gegalenge satak seket
Sampun puput pabersihan
Winiletang dening kasa
Tikeh halus wijil jawa
Lante maulat penyalin.
5.Tatindihe sutra petak,
Rinuruban dening kasa,
Anak putunya ngabhakti,
Ibunya munggwing ayun,
Ginosongan layon,
Kidunge mewanti wanti,
Bedil kulkul tankarengwan,
Gong gambang gender lan angklung.
6.Sanggar tawange bantenin,
Sapalinggihan pabaktyan,
Bedog pipis lan sangsangan,
Salang mute salang pipis,
Sada luwih lan ukur mas,
Cacanden lan ulap ulap,
Angenan mapucuk manik,
Suci katur ring bhatara.
7.Pepek aturane genep,
Pisang kembang pisang jati,
Bebek katur ring Bhatara,
Pinda lan bubuh pirata,
Toya pangentase buatang,
Pangelebe mas leyaran,
Ulantangane sumandhi,
Sampun puput pabersihan
MAS KUMAMBANG
1.Dina ayu,
nyiramang layone mangkin
Tirtha ning suci pawitra
Tirtha panglukatan suci
Nyuciang sekancan mala
2.Sapta Sindhu,
Tirtha kalintang utami
Godawari miwah Gangga
Narmada mwah Saraswati
Nglebur sarwa papa klesa
3.Tirtha Srayu,
Sindhu Yamuna nyangkepin
Sapta Sindhu mautama
Tirtha pawitra lintang suci
Nglukat duka papa dosa
4.Mogo rahayu,
atma sarirane mangkin
Risampun masucian
Mawastra sami suci bersih
Mogi polih margi sorga
5.Uduh ratu,
Dewa dewi makasami
Suryaning mwah picayang
Margi becik atmane niki
Ampurayang dewa ampura
6.Brahma Wisnu,
Iswara Dewa Trimurti
Hyang Yama mwah Kingkara
Icen atma margi becik
Ko sorga utawi moksha
MEMARGI KESETRA
INDRAWANGSA
1.Mamwit Narendratmaja ring tapowana,
Manganjali ryagraning indra parwata,
Tan wi smerti sangkan ikang hayun teka
Swabhawa sang sajjana rakwa mangkana
2.Mangkat dateng toliha rum wulat nira
Sinambaying camara sangkaring geger
Panawanging mrak panangis nikung alas,
Erang tininggal masaput saput hima.
3.Lunghang lengit lampahira ngawetana,
Lawan sang erawana bajra naryama
Tan warnanen desa nikang kaungkulan,
Apan leyep muksah sahinganing wulat.
4.Bhawisyati meh datengeng suralaya,
Graha dinaksatra kabeh pada krama,
Tejomaya purwa kadatwaning langit,
Pamuktyaning janma sudhira subrata.
5.Taranggana aditya sasangka mandala,
Alit katonanya sakeng swa manusa,
Ageng iwa mangkana deni doh nika,
Katon sakeng madyapada ngulap-ulap
6.Wintang lewih litya leyep tininggalan,
Ruhurnya sakeng sasiwimba karana,
Sadohning aditya sakeng niskara
Kadoh nikang bhumi sakeng diwakara
Swandewi
1.Prihen temen dharma dumaranang sarat
Saraga sang sadu sireka tutana,
Tan artha tan kama pidonia tan yasa,
Ya sakti sang sajjana dharma raksaka,
2.Sakanikang rat kita yan wenang manut,
Manupa desa prihatah rumaksa ya,
Ksayanikang papa nahan prayojana,
Jana nuragadi twin kapangguha
3.Guha peteng tan mada maha kasmala,
Mala diulannya mageng maha wisa,
Wisata sang wruh rikanang jurang kali,
Kalinganing sastra suluh nikang prabha.
4.Prabhanikang jenyanan susila dharma weh
Maweh kasidhian pada mukti nirmala,
Mala millet tan pamantuk mangkin maring
Maring wisesang yasa sidha ta pasa.
5.Pasang putih tulya niking mala angliput,
Luput sirang sadhu yaken pasang tuju,
Tujung sukangke mamunuh taman mulih,
Mulih maring moksa lepas rikang mulih.
Aswalalita
1.Athari mulih nirang nakula salya rancakari sukskang hati tenyuh,
Umarih arih gupenira nareswari, prihatin osahange salume,
Swang agigu tan saka wedi nireng pati, sedenga sang narendra pejaha,
Hela hela tan wareg silihasih, dumeh drawa niluh nira nara wata.
2.Hatining akung rika tanalaran tumona rinaras niran milu lenggeng.
Putus sariris marang gana sumar tenyuh salahase gelung nira mure.
Anusupa paksaning kadang awas.
Wurung hali halin liring nira nalek.
3.Atharipejah nisang prawara somada tatanayan tekep sinisutha.
Mangkin aparek Jayadrata tekap sang Arjuna Wrekudara ngurek amuk.
Irika Sakorawa ngrebut angembuli saraware sang Arjuna nase.
Maka muka sang Dwijendra Krepa Salya Karna guru putra len kurukula.
4.Pada teka saha sang udanaken warastra para yoda ring kurukula.
Maka hulu sang Srutayuda pejah dinanda rigada Wrekodara nasa.
Mapulih ikang Srutayu lawan Ayutayu dirga ring ayu.
Ya ta dinuman warastra pada mati denira sang Arjuna pamanahi.
Sikarini
1.Kurang sang wang nisreyasa,
Sira ta tan sidhi riwlah,
Ndatan puja tan yoga,
Rigenep ira nis bawa sada,
Luput saking bawa krama
2.Acintya numpak ring taya
Matapakan baskara wulan
Ika lwir sang lina dika sama
Lawan moksa karana
Nda sang sipta sing solah
Ya juga lamun nirmala sada
Prasida moring tanana
Kaluputing wahyu wibawa
NGENTAS LAYON
1.Omkara stuti ngurakang santun,
Krepu kanakane,
Mwang dupa dipa sumirit,
Watek gandarwa parum,
Kadi tinuduh denya harum,
Dadya sinahuran puspa,
Prasida amoring cupu,
Dadya lukat tan pamala,
Amuji rahaden bhima.
2.Sri Dewi Kunti mwang Dharmasunu,
Prasamata mangke,
Nararyyarjuna siraki,
Nakula Sadewa iku,
Samya musti sekar harum,
Wus siniratan maka rwa,
Dening Hyang amertha iku,
Sanjiwani ngaranya,
Puput kang yoga malukat.
MENDEM LAYON
Sronca=Guru-Lagu tan manggeh
1.Hanung putusen matapeng pratiwi,
Saksat pireng jroning garbha hibunta,
Ri huwus diwasa siram tu,
Kopakara pinra tisteng sadhaka.
2.Hanung sirang ngetwang muliha,
Pepengen swagatinta kottama,
Sangkanta huni yeka hulati,
Parama sunya suksma nira sraya.
ADRI
1.Widyadara presama tumurun,
Mapagin atmane,
Watek nawa sanga sami,
Tatabuhane gumuruh,
Suling rebab mwang celempung,
Preret warap sarine
Gong gambang angalun alun
Guntang kumarincing karengwan,
Curing munya kakelentingan.
2.Sinambut atmane sang putus,
Inunggahang mangke,
Ring jempanan tuhu ngrawit,
Mangring ring sutrane wungu,
Hararab bang ijo murub,
Kalasannya sutra jingga,
Asampir paparan halus,
Cinerancanging kamala,
Humurub kenyar komala.
3.Widyadara presama angrubung,
Amundut kabeh,
Pada papadon rumihin,
Tatabuhane anglangun,
Sopacara munggwing ahyun,
Angresing hati polahe,
Swaraning gumpit anglangun,
Curing rebab kapacia,
Guntang munya kaklentingan
SWANDEWI
1.Niking pasambat rikita dulur lumuh,
Cihnan asih ksamaken yadin salah,
Matangnya tan wruh ri asojara dama,
Amoga sigra teka lingku ring kita.
2.Manut sakarmanta kitastu rahayu,
Mulih ngusir sunya taman alengenu,
Luput rikang papa samukti nirmala,
Dateng alungguh rikanang sura laya.
NGESENG LAYON
SRONCA
1.Awtan denta pageh sira matapeng hapuy,
Teling juga tapan ta haywa lenga,
Hikid ngersalo kanku ri kita,
Hapan kita janma henget janmanta.
2.Ah haywa hakweh ujar wong rengenta,
Denta pnedta panta ring hyang apuy,
Hapanca ya kukus marganta purna,
Hangungsi hasalta duk dadi janma.
3.Sampun Hyang madan apjah msat hyang atma,
Sadyot ngrenti pinaka marganing pralina,
Nistresna tarya hinidep tayan kapanggih,
Swang lampwa ambeki rikawalya Bhawacakra.
AJI KEMBANG
1.Sang atapa sakti bhakti,
Astiti purwa sangkara,
Yan mati mahurip malih,
Wisesa sireng bhuwana,
Putih timur abang wetan,
Rahina tatas apadang
Tistining jaya kamatyan,
Mapageh ta samadira.
2.Ngulun ngadeg ring natar,
Kama jaya cinintanya,
Sang atunggu paraweyan,
Mawungu makarab karab,
Ilanganing dasa mala
Ametang gangga asuci,
Mapunggel rwaning wandira,
Pinaka len pernahira.
3.Yan sampun sira araup,
Isi nikang kundi manik,
Anut marga kita mulih,
Yan sira teka ring umah,
Tutug aken semadhinta
Sapangruwat sari ranta,
Isi nikang pengasep,
Kunda kumetug samidanya.
4.Wewangen dadi tembaga,
Rurube kang dadi emas,
Arenge kang dadi wesi,
Awune kang dadi mega,
Yeh iku dumadi hujan,
Tumiba ring merca pada
Yeh iku dadi amertha.
5.Kukuse Sang Hyang Iswara,
Lelatu Hyang Maheswara,
Wewangen Bhatara Brahma,
Kamaligi Bhatara Rudra,
Rurube Hyang Maha Dewa,
Awune Sang Hyang Sangkara,
Arenge Bhatara Wisnu,
Ambune Bhatara Sambu.
6.Ring kunda Bhatara Siwa,
Sarining kukus Hyang Guru,
Pangleburan Dasa Mala,
Lara roga winasa ya,
Purna jati sunirmala,
Luput maring papa karma,
Sadya manggih swarga luwih,
Satya brata mangarcana.
MAS KUMAMBANG
1.Om Yama
Surya putra yukti sakti
Om Hyang Mahakala
Pangemban atmane sami
Mogi ratu sweca lugra
2.Om Yama
Suryatenaya luhur suci
Om Yama digjaya
Atma niki pedek tangkil
Sweca ratu ngampurayang
3.Uduh ratu,
Dewa Hyang Yamadipati
Oh para Kingkara
Mangda sweca tresna asih
Ring atman semeton tityang
4.Siwa Rudra,
Mahadewa tuhu sakti
Nglebur sarwa papa
Picayang margine becik
Mogi atma polih moksha
5.Om Yama
Dewaning sang atmapati
Icen tatimbangan
Ssarwa karma sang dumadi
Ampura Dewa ampura
6.Om Yama
Ampurayang tityang mangkin
Tityang bhakti dahat
Tityang bhakti pedek tangkil
Om Yama Dewa Utama
NUDUK GALIH
SRONCA
1.Menget sireng ngaran wahu purnna,
Ping sad sira pwa beda nama,
Tunggal wahu purnna rwa camara,
Katri nimareng smasana,
2.Kacatur tinibaken wang lepas,
Kaping lima risdeng taginseng,
Ri pamkas sumala hing apuy,
Yeka kengetakna haywa lupa.
3.Nguni sireng gunung malihawan,
Sinung boga sira de sang sadaka,
Ning jnana misrayeka motama
Ngka pamkas kardi hasti Wedana.
4.Kapralina sira de kang mutusa,
Tinujwaken paran sang kanta nguni,
Margeng byomantara sunia malilang,
Tkeng hunggwanan musuka sada.
RIKALA NGEREKA
SRONCA
1.Mula janma sara kita manresthi,
Nawa winddhu tkaring nawa chandra,
Sapta masa dadi manusa gatra,
Nda kitekin sarapung pinaka atma.
2.Tulya kita sarati tan hana yatna,
Nipcala ngadeg irengganing angga,
Wruh ri duhka hayuning ratadiha,
Bhawa cakra tiklania ri naksa.
3.Panca tapa kapwa pada kabukti,
Wyapakeng sari srepa buta,
Nghing kiteng bhuwana karana langgeng,
Wruh ri lina wtuning dadi janma.
AJI KEMBANG
1.Ring purwa tunjunge putih,
Hyang Iswara Dewatanya,
Ring papusuhan pernahira,
Alinggih sira kalihan,
Pantesta kembange petak,
Ring tembe lamun dumadi,
Suka sugih tur rahayu,
Dana punya stiti bhakti.
2.Ring gneya tunjunge dadu,
Maheswara Dewatannya,
Ring papusuhan perhanira,
Alinggih sira kalihan,
Pantesta kembange dadu,
Ring tembe lamun dumadi,
Widagda sira ring niti,
Subhagya sireng bhuwana.
3.Ring daksina tunjunge mirah,
Sang Hyang Brahma Dewatanya,
Ring hati pernahira,
Alinggih sira kalihan,
Pantesta kembange mirah,
Ring tembe lamun dumadi,
Sampurna tur dirga yusa,
Pradnyan ring tatwa aji.
4.Ring neriti tunjunge jingga,
Sang Hyang Rudra Dewatannya,
Ring usus pernahira,
Alinggih sira kalihan,
Pantesta kembange jingga,
Ring tembe lamun dumadi,
Dharma sira tur susila,
Jana nuraga ring bhumi.
5.Ring pascima tunjunge jenar,
Maha Dewa Dewatannya,
Ring ungsilan pernahira,
Alinggih sira kalihan,
Pantesta kembange jenar,
Ring tembe lamun dumadi,
Tur sira sura ring rana,
Prajurit wetang aji.
6.Ring wayabya tunjunge wilis,
Hyang sangkara Dewatannya,
Ring limpa pernahira,
Alinggih sira kalihan,
Pantesta kembange wilis,
Ring tembe lamun dumadi,
Teleb ring tapa brata,
Gorawa satya ring budhi.
7.Ring utara tunjunge ireng,
Sang Hyang Wisnu Dewatannya,
Ring ampru pernahira,
Alinggih sira kalihan,
Pantesta tembange ireng,
Ring tembe lamun dumadi,
Sudra suci laksana,
Surupa lan sadhu sakti.
8.Ring ersanya tunjunge biru,
Sang Hyang Sambu Dewatannya,
Ring hineban pernahira,
Alinggih sira kalihan,
Pantesta kembange biru,
Ring tembe lamun dumadi,
Paripurna santa dharma,
Sida sidhi sihing warga.
9.Tengah tunjunge manca warna,
Sang Hyang Siwa Dewatannya,
Tumpuking hati pernahira,
Alinggih sira kalihan,
Pantesta kembange mancawarna,
Ring tembe lamun dumadi,
Gung prabawa sulaksana,
Satya brata tapa samadhi.
RIKALA MRUCUT GALIH
Sronca= Guru - Laghu tan Manggeh
Ah pitara hamwita ring gyanta ginseng,
Kaping ro ring wang sanak ta kabeh,
Kaping tri ring Hyangning smasana,
Yan wus mangkana henget gagacanta.
RIKALA NGANYUT
PUPUH ADRI
1.Sinambut atmane sang putus,
Inunggahan mangke,
Ring jampana tuwah ngrawit,
Marurub sutrane wungu,
Arahab bang ijo murub,
Kala sanya sutra jingga,
Asamir papatran halus,
Cinarang canging kambala,
Kumelap kenyar komala.
2.Widyadara prasama angrubung,
Amemunduk kabeh,
Pada papandon rimihin,
Tata bhuwana anglangun,
Sopacara munggwing hayun,
Angresing hati polahe,
Swaraning gumitit anglangun,
Curing rebab kacapya,
Guntang minu kaklentingan.
3.Sampun munggah sang atma,
Ring jampana mas’e
Aduluran pahe aris
Prawatej hyang maring ahyun
Gerebegan denya alaku
Kancit prapta maring swarga
Tumurun akweh mangrubung
Munggah maring meru wetan
Agagenteng mas komala.
PUPUH AJI KEMBANG
1.Ring wetan hana telaga
Rika ta hulun adyusa
Asalin raja busana
Anglebur awak tan porat
Hilanganing dasa mala
Sebel kandel ring sarira
Sakweh mala pataka
Kalebur ring tan hana.
2.Ring kidul hana telaga,
Rika ta hulun adyusa
Asalin raja busana
Anglebur awak tan porat
Hilanganing dasa mala
Sebel kandel ring sarira
Sakweh mala pataka
Kalebur ring tan hana.
3.Ring kulon hana telaga,
Rika ta hulun adyusa
Asalin raja busana
Anglebur awak tan porat
Hilanganing dasa mala
Sebel kandel ring sarira
Sakweh mala pataka
Kalebur ring tan hana.
4.Ring lor hana telaga,
Rika ta hulun adyusa
Asalin raja busana
Anglebur awak tan porat
Hilanganing dasa mala
Sebel kandel ring sarira
Sakweh mala pataka
Kalebur ring tan hana.
5.Ring madya hana telaga,
Rika ta hulun adyusa
Asalin raja busana
Anglebur awak tan porat
Hilanganing dasa mala
Sebel kandel ring sarira
Sakweh mala pataka
Kalebur ring tan hana.
6.Sampun ta sira abresih
Anambut raja busana
Binurating sarwa sari
Merbut harum gandaning wangi
Matur sira ring hyang guru
Sinung wara nugraha sira
Kasunganing mandi swara
Paripurna tur yowana.
RERAMON
A T M A
(ginanti)
1.Sang Hyang Atma ne kawuwus
Wenten ring sajroning urip
Ida dahat mautama
Kadi suksman Sang Hyang Widhi
Tan kahanan panca bhaya,
2.Emban antuk budhi luhur
Kahyun suci dahat hening
I tri kaya parisudha
Maka jalarane luwih
Anggen bekel Sang Hyang Atma
Mantuke ke jagat suci.
KARMA PHALA
( adri )
1.Maka bekel Sang Hyang Atma tuhu
Sarin pagawene
Ento sangu bekel mulih
Boya ja ipangan kinum
Miwah panganggene murub
Ento tuwah sangu dilemah
Makejang sing milu nutug
Disubane cening matinggal
Kasugihan kecag jumah.
2.Pianak somah nyama braya liyu
Ngateh kasemane
Pada mekelin baan eling
Disubane pada mantuk
Cening lawut pati entul
Tuwara tepuk baan margane
Angen angen ngelah liyu
Sane jati tan pa saja
Bas banget ban ngamomoang.
3.Duaning keto jalan jani ruruh
Dabdabang bekele
Ane utama kardinin
Kotaman bekel mantuk
Ngawe kasukan satuwuk
Da bas ngulah sekalane
Sekala niskala ruruh
Dasarin ban kanirmalan
Kadi ling ning Hyang Agama.
SAMSARA
(sinom)
1.Punarbhawa panumadian
Mula pakardin Hyang Widhi
Malarapan Karma Phala
Ne tuara dadi kalidin
Samsarane manumitis
Indriane sanget degul
Tan sengeh ring katatwan
Karuruban budhi paling
Tuara ngitung
Panes barane dilemah.
2.Jani cening jwa dabdabang
Apang tatas teken indik
Talin panugelan lekad
Kamoksane jati luwih
Awor ring Ida Hyang Widhi
Sepi sunia jagat luwung
Manggih kasukaan satata
Malingga ring genah suci
Terus tumus
Suka tan pawali duhka.
MOKSA
(sinom)
1.Yan sampun sida kamoksan
Tan pacang numadi malih
Tan kaiket punarbhawa
Dening sampun maraga suci
Suksmane jati luwih
Sampun rawuh ne katuju
Kasukane diniskala
Dahat langgeng kapuponin
Sawen ipun
Mamangguhang suka.
2.Yaning sampun pakayunan
Saking pituduh Hyang Widhi
Pacang manegdegang jagat
Sajroning jagate kali
Raris kautus numitis
Nabdabang mangda rahayu
Mangda krtha raharja
Sadaging jagate sami
Ne kawuwus
Awatara mautama
(Sronca=Guru-Lagu tan Manggeh)
1.Tungtung nieng sunia sara prih,
Pengpeng tayania satata,
Tatasania yata pengpeng,
Prih rasania sunieng tungtung
2.Msat nirang manmata sunia marga
Prastista munggwing rata mega waha,
Ikang watek dewata pada ngiring doh
Haten manonton alawan maha rsi.
NANGININ LAYON
1.Atha sedeng ira mantuk,
Sang sura laga ring hayun,
Tucapa aji wirātān,
Kāryācā nangisi weka,
Pinahajeng ira laywan,
Sang putra nala piniwa,
Pada litu hajeng anwam,
Lwir kandarpa pina telu.
2.Lalu laran niran asasambat,
Putranira pejah,
Laki bini sira sumungkem,
Ring putra lara kinusa,
Ginamel ira ginantikang,
Laywan lagi ginugah,
Inutus ira masabda kapwa
Ajara bibi aji.
3.Hana kaleheng ikang sih,
Yan tunggal kita pejaha,
Kita tiki katingalyus,
Ndyanung panglipura lara,
Syapa tiki palarengkwa,
Muktyang rajya sumiliha,
Ri hilangi tanayang kwadhung,
Ngwang yenaka kapejaha.
4.Nawuwus sira masasambat,
Karwa stray pengalume,
Inari wuwu tkap sang,
Pandawatmaja malara,
Pinahayu kinabehan sampun,
Purnna rinuruban,
Inayut i pajang lek,
Munggwing pancaka gineseng.
NYIRAMANG LAYON
Sronca=Guru-Lagu tan manggeh
1.Ya matangnya haretu haywa soka,
Purihing janma kita nira wasana,
Si hurip kadi mega lahru,
Rinarah ning pati pawakan samira.
2.Taya mulaniking haneng triloka,
Sakareng tawamwah mareng habawa,
Ndyata marma niking hurip katresnan,
Tuhu yawat krettaken katon hanitya.
1.Bala ugu dina melah
manuju tanggal sasih,
Pan Brayut panamaya
asisig adyus akramas,
Sinalinan wastra petak
mamusti madayang batis,
Sampun puput maprayoga
Tan aswe ngemasin mati.
2.Ikang layon ginosongan
ne istrine tuhu satya,
De pamayun matingkah
Eteh-eteh parattra,
Toya hening pabersihan
Misi ganda burat wangi,
Lengis pudak sategal
Sumarganda merbuk harum
3.Pusuh menuhe utama,
Malem sampun macawisan,
Tekaning edon intaran,
Bebek wangi lengis kapur
Monmon mirah widusara
Waja meka panca datu
Don tuwung sampun masembar
Saikapa kalawan taluh.
4.Buku-buku panyolasan
Pagemelane salaka
Kawangene panyelawean,
Gegalenge satak seket
Sampun puput pabersihan
Winiletang dening kasa
Tikeh halus wijil jawa
Lante maulat penyalin.
5.Tatindihe sutra petak,
Rinuruban dening kasa,
Anak putunya ngabhakti,
Ibunya munggwing ayun,
Ginosongan layon,
Kidunge mewanti wanti,
Bedil kulkul tankarengwan,
Gong gambang gender lan angklung.
6.Sanggar tawange bantenin,
Sapalinggihan pabaktyan,
Bedog pipis lan sangsangan,
Salang mute salang pipis,
Sada luwih lan ukur mas,
Cacanden lan ulap ulap,
Angenan mapucuk manik,
Suci katur ring bhatara.
7.Pepek aturane genep,
Pisang kembang pisang jati,
Bebek katur ring Bhatara,
Pinda lan bubuh pirata,
Toya pangentase buatang,
Pangelebe mas leyaran,
Ulantangane sumandhi,
Sampun puput pabersihan
MAS KUMAMBANG
1.Dina ayu,
nyiramang layone mangkin
Tirtha ning suci pawitra
Tirtha panglukatan suci
Nyuciang sekancan mala
2.Sapta Sindhu,
Tirtha kalintang utami
Godawari miwah Gangga
Narmada mwah Saraswati
Nglebur sarwa papa klesa
3.Tirtha Srayu,
Sindhu Yamuna nyangkepin
Sapta Sindhu mautama
Tirtha pawitra lintang suci
Nglukat duka papa dosa
4.Mogo rahayu,
atma sarirane mangkin
Risampun masucian
Mawastra sami suci bersih
Mogi polih margi sorga
5.Uduh ratu,
Dewa dewi makasami
Suryaning mwah picayang
Margi becik atmane niki
Ampurayang dewa ampura
6.Brahma Wisnu,
Iswara Dewa Trimurti
Hyang Yama mwah Kingkara
Icen atma margi becik
Ko sorga utawi moksha
MEMARGI KESETRA
INDRAWANGSA
1.Mamwit Narendratmaja ring tapowana,
Manganjali ryagraning indra parwata,
Tan wi smerti sangkan ikang hayun teka
Swabhawa sang sajjana rakwa mangkana
2.Mangkat dateng toliha rum wulat nira
Sinambaying camara sangkaring geger
Panawanging mrak panangis nikung alas,
Erang tininggal masaput saput hima.
3.Lunghang lengit lampahira ngawetana,
Lawan sang erawana bajra naryama
Tan warnanen desa nikang kaungkulan,
Apan leyep muksah sahinganing wulat.
4.Bhawisyati meh datengeng suralaya,
Graha dinaksatra kabeh pada krama,
Tejomaya purwa kadatwaning langit,
Pamuktyaning janma sudhira subrata.
5.Taranggana aditya sasangka mandala,
Alit katonanya sakeng swa manusa,
Ageng iwa mangkana deni doh nika,
Katon sakeng madyapada ngulap-ulap
6.Wintang lewih litya leyep tininggalan,
Ruhurnya sakeng sasiwimba karana,
Sadohning aditya sakeng niskara
Kadoh nikang bhumi sakeng diwakara
Swandewi
1.Prihen temen dharma dumaranang sarat
Saraga sang sadu sireka tutana,
Tan artha tan kama pidonia tan yasa,
Ya sakti sang sajjana dharma raksaka,
2.Sakanikang rat kita yan wenang manut,
Manupa desa prihatah rumaksa ya,
Ksayanikang papa nahan prayojana,
Jana nuragadi twin kapangguha
3.Guha peteng tan mada maha kasmala,
Mala diulannya mageng maha wisa,
Wisata sang wruh rikanang jurang kali,
Kalinganing sastra suluh nikang prabha.
4.Prabhanikang jenyanan susila dharma weh
Maweh kasidhian pada mukti nirmala,
Mala millet tan pamantuk mangkin maring
Maring wisesang yasa sidha ta pasa.
5.Pasang putih tulya niking mala angliput,
Luput sirang sadhu yaken pasang tuju,
Tujung sukangke mamunuh taman mulih,
Mulih maring moksa lepas rikang mulih.
Aswalalita
1.Athari mulih nirang nakula salya rancakari sukskang hati tenyuh,
Umarih arih gupenira nareswari, prihatin osahange salume,
Swang agigu tan saka wedi nireng pati, sedenga sang narendra pejaha,
Hela hela tan wareg silihasih, dumeh drawa niluh nira nara wata.
2.Hatining akung rika tanalaran tumona rinaras niran milu lenggeng.
Putus sariris marang gana sumar tenyuh salahase gelung nira mure.
Anusupa paksaning kadang awas.
Wurung hali halin liring nira nalek.
3.Atharipejah nisang prawara somada tatanayan tekep sinisutha.
Mangkin aparek Jayadrata tekap sang Arjuna Wrekudara ngurek amuk.
Irika Sakorawa ngrebut angembuli saraware sang Arjuna nase.
Maka muka sang Dwijendra Krepa Salya Karna guru putra len kurukula.
4.Pada teka saha sang udanaken warastra para yoda ring kurukula.
Maka hulu sang Srutayuda pejah dinanda rigada Wrekodara nasa.
Mapulih ikang Srutayu lawan Ayutayu dirga ring ayu.
Ya ta dinuman warastra pada mati denira sang Arjuna pamanahi.
Sikarini
1.Kurang sang wang nisreyasa,
Sira ta tan sidhi riwlah,
Ndatan puja tan yoga,
Rigenep ira nis bawa sada,
Luput saking bawa krama
2.Acintya numpak ring taya
Matapakan baskara wulan
Ika lwir sang lina dika sama
Lawan moksa karana
Nda sang sipta sing solah
Ya juga lamun nirmala sada
Prasida moring tanana
Kaluputing wahyu wibawa
NGENTAS LAYON
1.Omkara stuti ngurakang santun,
Krepu kanakane,
Mwang dupa dipa sumirit,
Watek gandarwa parum,
Kadi tinuduh denya harum,
Dadya sinahuran puspa,
Prasida amoring cupu,
Dadya lukat tan pamala,
Amuji rahaden bhima.
2.Sri Dewi Kunti mwang Dharmasunu,
Prasamata mangke,
Nararyyarjuna siraki,
Nakula Sadewa iku,
Samya musti sekar harum,
Wus siniratan maka rwa,
Dening Hyang amertha iku,
Sanjiwani ngaranya,
Puput kang yoga malukat.
MENDEM LAYON
Sronca=Guru-Lagu tan manggeh
1.Hanung putusen matapeng pratiwi,
Saksat pireng jroning garbha hibunta,
Ri huwus diwasa siram tu,
Kopakara pinra tisteng sadhaka.
2.Hanung sirang ngetwang muliha,
Pepengen swagatinta kottama,
Sangkanta huni yeka hulati,
Parama sunya suksma nira sraya.
ADRI
1.Widyadara presama tumurun,
Mapagin atmane,
Watek nawa sanga sami,
Tatabuhane gumuruh,
Suling rebab mwang celempung,
Preret warap sarine
Gong gambang angalun alun
Guntang kumarincing karengwan,
Curing munya kakelentingan.
2.Sinambut atmane sang putus,
Inunggahang mangke,
Ring jempanan tuhu ngrawit,
Mangring ring sutrane wungu,
Hararab bang ijo murub,
Kalasannya sutra jingga,
Asampir paparan halus,
Cinerancanging kamala,
Humurub kenyar komala.
3.Widyadara presama angrubung,
Amundut kabeh,
Pada papadon rumihin,
Tatabuhane anglangun,
Sopacara munggwing ahyun,
Angresing hati polahe,
Swaraning gumpit anglangun,
Curing rebab kapacia,
Guntang munya kaklentingan
SWANDEWI
1.Niking pasambat rikita dulur lumuh,
Cihnan asih ksamaken yadin salah,
Matangnya tan wruh ri asojara dama,
Amoga sigra teka lingku ring kita.
2.Manut sakarmanta kitastu rahayu,
Mulih ngusir sunya taman alengenu,
Luput rikang papa samukti nirmala,
Dateng alungguh rikanang sura laya.
NGESENG LAYON
SRONCA
1.Awtan denta pageh sira matapeng hapuy,
Teling juga tapan ta haywa lenga,
Hikid ngersalo kanku ri kita,
Hapan kita janma henget janmanta.
2.Ah haywa hakweh ujar wong rengenta,
Denta pnedta panta ring hyang apuy,
Hapanca ya kukus marganta purna,
Hangungsi hasalta duk dadi janma.
3.Sampun Hyang madan apjah msat hyang atma,
Sadyot ngrenti pinaka marganing pralina,
Nistresna tarya hinidep tayan kapanggih,
Swang lampwa ambeki rikawalya Bhawacakra.
AJI KEMBANG
1.Sang atapa sakti bhakti,
Astiti purwa sangkara,
Yan mati mahurip malih,
Wisesa sireng bhuwana,
Putih timur abang wetan,
Rahina tatas apadang
Tistining jaya kamatyan,
Mapageh ta samadira.
2.Ngulun ngadeg ring natar,
Kama jaya cinintanya,
Sang atunggu paraweyan,
Mawungu makarab karab,
Ilanganing dasa mala
Ametang gangga asuci,
Mapunggel rwaning wandira,
Pinaka len pernahira.
3.Yan sampun sira araup,
Isi nikang kundi manik,
Anut marga kita mulih,
Yan sira teka ring umah,
Tutug aken semadhinta
Sapangruwat sari ranta,
Isi nikang pengasep,
Kunda kumetug samidanya.
4.Wewangen dadi tembaga,
Rurube kang dadi emas,
Arenge kang dadi wesi,
Awune kang dadi mega,
Yeh iku dumadi hujan,
Tumiba ring merca pada
Yeh iku dadi amertha.
5.Kukuse Sang Hyang Iswara,
Lelatu Hyang Maheswara,
Wewangen Bhatara Brahma,
Kamaligi Bhatara Rudra,
Rurube Hyang Maha Dewa,
Awune Sang Hyang Sangkara,
Arenge Bhatara Wisnu,
Ambune Bhatara Sambu.
6.Ring kunda Bhatara Siwa,
Sarining kukus Hyang Guru,
Pangleburan Dasa Mala,
Lara roga winasa ya,
Purna jati sunirmala,
Luput maring papa karma,
Sadya manggih swarga luwih,
Satya brata mangarcana.
MAS KUMAMBANG
1.Om Yama
Surya putra yukti sakti
Om Hyang Mahakala
Pangemban atmane sami
Mogi ratu sweca lugra
2.Om Yama
Suryatenaya luhur suci
Om Yama digjaya
Atma niki pedek tangkil
Sweca ratu ngampurayang
3.Uduh ratu,
Dewa Hyang Yamadipati
Oh para Kingkara
Mangda sweca tresna asih
Ring atman semeton tityang
4.Siwa Rudra,
Mahadewa tuhu sakti
Nglebur sarwa papa
Picayang margine becik
Mogi atma polih moksha
5.Om Yama
Dewaning sang atmapati
Icen tatimbangan
Ssarwa karma sang dumadi
Ampura Dewa ampura
6.Om Yama
Ampurayang tityang mangkin
Tityang bhakti dahat
Tityang bhakti pedek tangkil
Om Yama Dewa Utama
NUDUK GALIH
SRONCA
1.Menget sireng ngaran wahu purnna,
Ping sad sira pwa beda nama,
Tunggal wahu purnna rwa camara,
Katri nimareng smasana,
2.Kacatur tinibaken wang lepas,
Kaping lima risdeng taginseng,
Ri pamkas sumala hing apuy,
Yeka kengetakna haywa lupa.
3.Nguni sireng gunung malihawan,
Sinung boga sira de sang sadaka,
Ning jnana misrayeka motama
Ngka pamkas kardi hasti Wedana.
4.Kapralina sira de kang mutusa,
Tinujwaken paran sang kanta nguni,
Margeng byomantara sunia malilang,
Tkeng hunggwanan musuka sada.
RIKALA NGEREKA
SRONCA
1.Mula janma sara kita manresthi,
Nawa winddhu tkaring nawa chandra,
Sapta masa dadi manusa gatra,
Nda kitekin sarapung pinaka atma.
2.Tulya kita sarati tan hana yatna,
Nipcala ngadeg irengganing angga,
Wruh ri duhka hayuning ratadiha,
Bhawa cakra tiklania ri naksa.
3.Panca tapa kapwa pada kabukti,
Wyapakeng sari srepa buta,
Nghing kiteng bhuwana karana langgeng,
Wruh ri lina wtuning dadi janma.
AJI KEMBANG
1.Ring purwa tunjunge putih,
Hyang Iswara Dewatanya,
Ring papusuhan pernahira,
Alinggih sira kalihan,
Pantesta kembange petak,
Ring tembe lamun dumadi,
Suka sugih tur rahayu,
Dana punya stiti bhakti.
2.Ring gneya tunjunge dadu,
Maheswara Dewatannya,
Ring papusuhan perhanira,
Alinggih sira kalihan,
Pantesta kembange dadu,
Ring tembe lamun dumadi,
Widagda sira ring niti,
Subhagya sireng bhuwana.
3.Ring daksina tunjunge mirah,
Sang Hyang Brahma Dewatanya,
Ring hati pernahira,
Alinggih sira kalihan,
Pantesta kembange mirah,
Ring tembe lamun dumadi,
Sampurna tur dirga yusa,
Pradnyan ring tatwa aji.
4.Ring neriti tunjunge jingga,
Sang Hyang Rudra Dewatannya,
Ring usus pernahira,
Alinggih sira kalihan,
Pantesta kembange jingga,
Ring tembe lamun dumadi,
Dharma sira tur susila,
Jana nuraga ring bhumi.
5.Ring pascima tunjunge jenar,
Maha Dewa Dewatannya,
Ring ungsilan pernahira,
Alinggih sira kalihan,
Pantesta kembange jenar,
Ring tembe lamun dumadi,
Tur sira sura ring rana,
Prajurit wetang aji.
6.Ring wayabya tunjunge wilis,
Hyang sangkara Dewatannya,
Ring limpa pernahira,
Alinggih sira kalihan,
Pantesta kembange wilis,
Ring tembe lamun dumadi,
Teleb ring tapa brata,
Gorawa satya ring budhi.
7.Ring utara tunjunge ireng,
Sang Hyang Wisnu Dewatannya,
Ring ampru pernahira,
Alinggih sira kalihan,
Pantesta tembange ireng,
Ring tembe lamun dumadi,
Sudra suci laksana,
Surupa lan sadhu sakti.
8.Ring ersanya tunjunge biru,
Sang Hyang Sambu Dewatannya,
Ring hineban pernahira,
Alinggih sira kalihan,
Pantesta kembange biru,
Ring tembe lamun dumadi,
Paripurna santa dharma,
Sida sidhi sihing warga.
9.Tengah tunjunge manca warna,
Sang Hyang Siwa Dewatannya,
Tumpuking hati pernahira,
Alinggih sira kalihan,
Pantesta kembange mancawarna,
Ring tembe lamun dumadi,
Gung prabawa sulaksana,
Satya brata tapa samadhi.
RIKALA MRUCUT GALIH
Sronca= Guru - Laghu tan Manggeh
Ah pitara hamwita ring gyanta ginseng,
Kaping ro ring wang sanak ta kabeh,
Kaping tri ring Hyangning smasana,
Yan wus mangkana henget gagacanta.
RIKALA NGANYUT
PUPUH ADRI
1.Sinambut atmane sang putus,
Inunggahan mangke,
Ring jampana tuwah ngrawit,
Marurub sutrane wungu,
Arahab bang ijo murub,
Kala sanya sutra jingga,
Asamir papatran halus,
Cinarang canging kambala,
Kumelap kenyar komala.
2.Widyadara prasama angrubung,
Amemunduk kabeh,
Pada papandon rimihin,
Tata bhuwana anglangun,
Sopacara munggwing hayun,
Angresing hati polahe,
Swaraning gumitit anglangun,
Curing rebab kacapya,
Guntang minu kaklentingan.
3.Sampun munggah sang atma,
Ring jampana mas’e
Aduluran pahe aris
Prawatej hyang maring ahyun
Gerebegan denya alaku
Kancit prapta maring swarga
Tumurun akweh mangrubung
Munggah maring meru wetan
Agagenteng mas komala.
PUPUH AJI KEMBANG
1.Ring wetan hana telaga
Rika ta hulun adyusa
Asalin raja busana
Anglebur awak tan porat
Hilanganing dasa mala
Sebel kandel ring sarira
Sakweh mala pataka
Kalebur ring tan hana.
2.Ring kidul hana telaga,
Rika ta hulun adyusa
Asalin raja busana
Anglebur awak tan porat
Hilanganing dasa mala
Sebel kandel ring sarira
Sakweh mala pataka
Kalebur ring tan hana.
3.Ring kulon hana telaga,
Rika ta hulun adyusa
Asalin raja busana
Anglebur awak tan porat
Hilanganing dasa mala
Sebel kandel ring sarira
Sakweh mala pataka
Kalebur ring tan hana.
4.Ring lor hana telaga,
Rika ta hulun adyusa
Asalin raja busana
Anglebur awak tan porat
Hilanganing dasa mala
Sebel kandel ring sarira
Sakweh mala pataka
Kalebur ring tan hana.
5.Ring madya hana telaga,
Rika ta hulun adyusa
Asalin raja busana
Anglebur awak tan porat
Hilanganing dasa mala
Sebel kandel ring sarira
Sakweh mala pataka
Kalebur ring tan hana.
6.Sampun ta sira abresih
Anambut raja busana
Binurating sarwa sari
Merbut harum gandaning wangi
Matur sira ring hyang guru
Sinung wara nugraha sira
Kasunganing mandi swara
Paripurna tur yowana.
RERAMON
A T M A
(ginanti)
1.Sang Hyang Atma ne kawuwus
Wenten ring sajroning urip
Ida dahat mautama
Kadi suksman Sang Hyang Widhi
Tan kahanan panca bhaya,
2.Emban antuk budhi luhur
Kahyun suci dahat hening
I tri kaya parisudha
Maka jalarane luwih
Anggen bekel Sang Hyang Atma
Mantuke ke jagat suci.
KARMA PHALA
( adri )
1.Maka bekel Sang Hyang Atma tuhu
Sarin pagawene
Ento sangu bekel mulih
Boya ja ipangan kinum
Miwah panganggene murub
Ento tuwah sangu dilemah
Makejang sing milu nutug
Disubane cening matinggal
Kasugihan kecag jumah.
2.Pianak somah nyama braya liyu
Ngateh kasemane
Pada mekelin baan eling
Disubane pada mantuk
Cening lawut pati entul
Tuwara tepuk baan margane
Angen angen ngelah liyu
Sane jati tan pa saja
Bas banget ban ngamomoang.
3.Duaning keto jalan jani ruruh
Dabdabang bekele
Ane utama kardinin
Kotaman bekel mantuk
Ngawe kasukan satuwuk
Da bas ngulah sekalane
Sekala niskala ruruh
Dasarin ban kanirmalan
Kadi ling ning Hyang Agama.
SAMSARA
(sinom)
1.Punarbhawa panumadian
Mula pakardin Hyang Widhi
Malarapan Karma Phala
Ne tuara dadi kalidin
Samsarane manumitis
Indriane sanget degul
Tan sengeh ring katatwan
Karuruban budhi paling
Tuara ngitung
Panes barane dilemah.
2.Jani cening jwa dabdabang
Apang tatas teken indik
Talin panugelan lekad
Kamoksane jati luwih
Awor ring Ida Hyang Widhi
Sepi sunia jagat luwung
Manggih kasukaan satata
Malingga ring genah suci
Terus tumus
Suka tan pawali duhka.
MOKSA
(sinom)
1.Yan sampun sida kamoksan
Tan pacang numadi malih
Tan kaiket punarbhawa
Dening sampun maraga suci
Suksmane jati luwih
Sampun rawuh ne katuju
Kasukane diniskala
Dahat langgeng kapuponin
Sawen ipun
Mamangguhang suka.
2.Yaning sampun pakayunan
Saking pituduh Hyang Widhi
Pacang manegdegang jagat
Sajroning jagate kali
Raris kautus numitis
Nabdabang mangda rahayu
Mangda krtha raharja
Sadaging jagate sami
Ne kawuwus
Awatara mautama
NILAI – NILAI KEPEMIMPINAN DALAM CERITA RAMAYANA
1. Dasaratha adalah Raja dari kerajaan Ayodhya. Dasaratha adalah ayah dari Rama yang merupakan Avatara Dewa Wisnu. Dasaratha merupakan sosok pemimpin yang memiliki karakter kuat. Ini terbukti dari bagaimana beliau memimpin kerajaan Ayodhya dengan adil dan bijaksana, sehingga kesejahteraan rakyat dapat tercapai. Dasaratha merupakan ayah dari Rama, beliau juga merupakan inspirasi dalam sistem pemerintahan Rama.
Adapun nilai – nilai kepemimpinan Dasaratha adalah sebagai berikut :
a. Pracāsta ring rat musuhnira pranata
( Dasaratha merupakan pemimpin yang termasyur / terkenal di dunia, semua musuh – musuhnya tunduk / takut kepadanya)
Dari penjabaran ini jelas dikatakan bahwa seorang pemimpin harus memiliki wibawa dan kekuatan sehingga musuh tidak ada yang berani mendekati apalagi berusaha menerbut wilayah kekuasaan.
b. Jaya pāndita raing aji kabeh
( Dasaratha jaya, ahli didalam segala ilmu pemerintahan )
Dari penjabaran ini jelas dikatakan bahwa seorang pemimpin harus memiliki pengetahuan yang cukup dan harus dapat dikatakan sebagai orang yang cerdas.
c. Māsih ta sireng swagōtra kabeh
( Dasaratha mencintai semua rakyatnya )
Seorang pemimpin memang harus mencintai rakyatnya, pemimpin juga harus tahu bagaimana keadaan rakyatnya, tidak hanya memikirkan dirinya sendiri.
d. Prawίra wihikan sireng nίti
( Dasaratha adalah seorang perwira dan pandai bermain politik )
Seorang pemimpin harus pandai berpolitik, bukan berarti berpolitik itu sebagai kecurangan, tetapi mengantisipasi jangan sampai ada yang berniat buruk ingin menguasai wilayah kekuasaan.
e. Priya hita sōjar nirāticaya
( Segala kata – katanya penuh dengan kebajikan serta sangat adil )
Seorang pemimpin yang dipegang adalah kata – katanya, maka sudah sepatutnya pemimpin yang baik, kata – kata yang keluar dari mulutnya pun juga harus mengandung kebaikan dan juga berperangai sangat adil.
f. Parārtha gumawe sukanikang bhuwana
( Dasaratha senang mengerjakan kepentingan – kepentingan orang lain sehingga membuat dunia senang )
Pemimpin yang baik akan selalu mengutamakan kepentingaan rakyatnya dan mengeyampingkan kepentingan dirinya sendiri. Inilah karakteristik dari seorang pemimpin
g. Ikanang pratapa dumilah
( Sinar kekuatannya menyala – nyala )
sinar kekuatan disini artinya kewibawaan. Seorang pemimpin harus memiliki kewibawaan yang berpengaruh
terhadap para lawannya.
h. Sukanikang rāt ya teka ginawenya
( Kesejahteraan dunialah dibuatnya )
Seorang pemimpin yang menjadi prioritasnya adalah bagaimana mensejahterakan rakyatnya.
2. Rama adalah Avatara dari Dewa Wisnu dan juga merupakan anak tertua dari Raja Dasaratha.
Beliau merupakan salah satu tokoh pemimpin yang memiliki katarakteristik kuat dalam pemerintahannya. Nilai – nilai kepemimpinan dari Sang Rama adalah sebagai berikut :
a. Apan mahā sakti rakwa sang Rāma
(Konon Rama sangat sakti )
Sebagai seorang pemimpin memang harus memiliki kesaktian agar para lawan dan musuh takut padanya.
1. Tahana padhanira ri kacaktin
(Sama sekali tidak ada bandingannya dalam kesaktian )
Seorang pemimpin harus memiliki kekuatan yang tiada tandingannya agar para lawan dan musuh tidak ada yang berani mendekati, dan tiada satu orang musuhpun yang bisa menandingi kekuatannya.
2. Dānawa rāksasa hilaga, prabhāwa sang Rāma hetunya
(Danawa dan raksasa – raksasa akan musnah disebabkan oleh kekuatan sang Rama )
Pemimpin harus memiliki nama yang kuat bagi para lawan dan musuhnya, dan dengan kekuatan yang dimiliki tidak ada seorang lawan pun yang dapat menandingi kekuatannya.
Inilah nilai – nilai yang harus dimiliki
oleh seorang pemimpin, sesuai dengan ajaran yang terdapat dalam Nitisastra
Adapun nilai – nilai kepemimpinan Dasaratha adalah sebagai berikut :
a. Pracāsta ring rat musuhnira pranata
( Dasaratha merupakan pemimpin yang termasyur / terkenal di dunia, semua musuh – musuhnya tunduk / takut kepadanya)
Dari penjabaran ini jelas dikatakan bahwa seorang pemimpin harus memiliki wibawa dan kekuatan sehingga musuh tidak ada yang berani mendekati apalagi berusaha menerbut wilayah kekuasaan.
b. Jaya pāndita raing aji kabeh
( Dasaratha jaya, ahli didalam segala ilmu pemerintahan )
Dari penjabaran ini jelas dikatakan bahwa seorang pemimpin harus memiliki pengetahuan yang cukup dan harus dapat dikatakan sebagai orang yang cerdas.
c. Māsih ta sireng swagōtra kabeh
( Dasaratha mencintai semua rakyatnya )
Seorang pemimpin memang harus mencintai rakyatnya, pemimpin juga harus tahu bagaimana keadaan rakyatnya, tidak hanya memikirkan dirinya sendiri.
d. Prawίra wihikan sireng nίti
( Dasaratha adalah seorang perwira dan pandai bermain politik )
Seorang pemimpin harus pandai berpolitik, bukan berarti berpolitik itu sebagai kecurangan, tetapi mengantisipasi jangan sampai ada yang berniat buruk ingin menguasai wilayah kekuasaan.
e. Priya hita sōjar nirāticaya
( Segala kata – katanya penuh dengan kebajikan serta sangat adil )
Seorang pemimpin yang dipegang adalah kata – katanya, maka sudah sepatutnya pemimpin yang baik, kata – kata yang keluar dari mulutnya pun juga harus mengandung kebaikan dan juga berperangai sangat adil.
f. Parārtha gumawe sukanikang bhuwana
( Dasaratha senang mengerjakan kepentingan – kepentingan orang lain sehingga membuat dunia senang )
Pemimpin yang baik akan selalu mengutamakan kepentingaan rakyatnya dan mengeyampingkan kepentingan dirinya sendiri. Inilah karakteristik dari seorang pemimpin
g. Ikanang pratapa dumilah
( Sinar kekuatannya menyala – nyala )
sinar kekuatan disini artinya kewibawaan. Seorang pemimpin harus memiliki kewibawaan yang berpengaruh
terhadap para lawannya.
h. Sukanikang rāt ya teka ginawenya
( Kesejahteraan dunialah dibuatnya )
Seorang pemimpin yang menjadi prioritasnya adalah bagaimana mensejahterakan rakyatnya.
2. Rama adalah Avatara dari Dewa Wisnu dan juga merupakan anak tertua dari Raja Dasaratha.
Beliau merupakan salah satu tokoh pemimpin yang memiliki katarakteristik kuat dalam pemerintahannya. Nilai – nilai kepemimpinan dari Sang Rama adalah sebagai berikut :
a. Apan mahā sakti rakwa sang Rāma
(Konon Rama sangat sakti )
Sebagai seorang pemimpin memang harus memiliki kesaktian agar para lawan dan musuh takut padanya.
1. Tahana padhanira ri kacaktin
(Sama sekali tidak ada bandingannya dalam kesaktian )
Seorang pemimpin harus memiliki kekuatan yang tiada tandingannya agar para lawan dan musuh tidak ada yang berani mendekati, dan tiada satu orang musuhpun yang bisa menandingi kekuatannya.
2. Dānawa rāksasa hilaga, prabhāwa sang Rāma hetunya
(Danawa dan raksasa – raksasa akan musnah disebabkan oleh kekuatan sang Rama )
Pemimpin harus memiliki nama yang kuat bagi para lawan dan musuhnya, dan dengan kekuatan yang dimiliki tidak ada seorang lawan pun yang dapat menandingi kekuatannya.
Inilah nilai – nilai yang harus dimiliki
oleh seorang pemimpin, sesuai dengan ajaran yang terdapat dalam Nitisastra
KISAH SUNGAI GANGGA DAN KAJIAN FILOSOFIS TRI HITA KARANA
Ide Cerita: I Wayan Sudarma (Shri Danu D.P)- Bekasi
pernah dipentaskan dalam bentuk drama tari di Pura Agung Tirta Bhuana -Bekasi Th. 2007
PENDAHULUAN
Umat Hindu memercikkan, meminum dan mengusapkan AIR SUCI pada kepala dan mukanya sebagai pengakhir dari persembahyangan mereka. Untuk mengetahui apa yang dinamai AIR SUCI dalam Agama Hindu kami akan memulainya dengan menguraikan mengenai air Suci Sungai Gangga, yang ada di Bharata Warsa yaitu India.
Dunia Barat, yang kini terkenal menjadi tempat pusat kemajuan teknologi mutakhir itu, pada jaman turunnya wahyu Veda di Dunia Timur, masih merupakan hutan rimba yang dihuni oleh manusia-manusia primitive.
Dengan turunnya wahyu Veda, berarti dimulainya peradaban manusia, dan itu dimulai dari Dunia Timur. Wahyu Veda disabdakan Hyang Widhi ke dunia melalui para Maharsi Bangsa Arya, yang terkenal genius itu. Sabda Tuhan tersebut diterima oleh para Maharsi melalui pendengarannya, sehingga kemudian sabda tersebut dinamai Sruti. Para Maharsi mampu mengingat-ingat wahyu Veda tersebut sampai akhir hayatnya.
Sebagai penerima wahyu, para Maharsi meiliki kewajiban untuk menyebarluaskan wahyu
tersebut kepada masyarakat. Dalam penyebarluasan Veda inilah para Maharsi
mengalami kesulitan, karena kemmpuan masyarakat berbeda-beda. Bagi mereka yang
pikirannya mampu, diberikan pelajaran setara ilmiah. Tetapi bagi yang sangat
awam, diajar Veda dengan penafsiran. Tafsir-tafsir Veda tersebut dinamai Smrti.
Salah satu macam tafsir Veda yang disebut kitab-kitab Purana, memuat
dongeng-dongeng keagamaan. Kini, kitab-kitab Purana tersebut berjumlah 36 pustaka. Bagi yang terpelajar, mungkin akan tersenyum tidak percaya bila telah membaca kitab-kitab Purana tersebut. Bahkan menuduh, bahwa penulis kitab-kitab Purana itu pembohong, penipu masyarakat yang sangat awam. Akan tetapi, pendapat tersebut akan hilang, apabila ia tahu, bahwa penulisan dongeng-dongeng dalam kitab-kitab Purana tersebut hanya merupakan simbolik-simbolik, merupakan gambran-gambaran yang mudah dimengerti oleh orang awam, yang mengandung makna dan kebenaran yang dapat diterima dengan wajar.
Jadi penulisan dongeng dalam kitab-kitab Purana tersebut, hanya merupakan media
atau alat pendidikan yang sederhana dan mudah bagi orang awam.
KISAH SUNGAI GANGGA DAN KAJIAN FILOSOFIS TRI HITA KARANA
Tentang kesucian sungai Gangga juga dimuat dalam kitab Purana. Berbentuk cerita yang sangat menarik bila dibacakan.
PROLOG:
Dahulu, kerajaan Ayodhya pernah diperintah oleh seorang raja yang bernama SAGARA.
Baginda mempunyai dua orang istri.. Dari istrinya yang pertama, Sang Raja
dianugerahi seorang Putra bernama ANSUMAN, dan setelah dewasa menjadi seorang
pertapa. Dan istri kedua baginda mendapatkan putra sebanyak 60.000 orang.
Diceritakanlah, pada suatu hari raja Sagara akan mengadakan Asvamedha Yajna atau Upacara Korban Kuda. Suatu upacara korban, harus didasari kesucian dan ketulusan hati. Nampaknya prinsip tersebut tidak dipegang oleh Sri Baginda. Ia mengadakan
Asvamedha Yajna, hanya ingin mendapatkan kemasyuran dirinya belaka, dan hanya
ingin menunjukkan kekuasaannya.
SITUASI & DIALOG I
Tempat: Kerajaan Ayodhya
Situasi: Paruman Kerajaan
Perdana Mentri : Om Swatyastu Paduka Raja, semoga atas anugerah Hyang Widhi Paduka dilimpahkan kemuliaan, mohon paduka menyampaikan amanat kepada hamba semua, ada tugas apa yang harus kami lakukan sehingga Paduka mengumpulkan kami semuanya ?
Raja Sagara : Wahai rakyatku yang setia……….setelah sekian lama Aku memerintah kerajaan Ini, tak terasa kerajaanku telah tumbuh menjadi kerajaan yang besar. Untuk itu Aku berniat menyelenggarakan Karya Agung yaitu Asvamedha Yajna, bagaimana menurutmu Perdana Mentri?
Perdana Mentri : Ampun Paduka, niat paduka itu sangat mulia, karena Asvamedha Yajna adalah upacara yang paling utama dari semua upacara korban, hamba sangat setuju dan akan mendukung niat paduka tersebut.
Raja Sagara : Perlu kalian ketahui maksudku melaksanakan upacara ini,…….. Aku ingin menjadi raja termasyur dan paling disegani di muka bumi ini, Aku ingin agar semuanya tunduk dan bersujud di bawah kekuasaanku, Aku ingin menjadi penguasa atas dunia ini.
Perdana Mentri : Baik Baginda…….Semua titah paduka akan hamba laksanakan.
Kemudian raja meninggalkan tempat diikuti oleh kedua istri, anak-anaknya dan iiring oleh punggawa kerajaan.
SITUASI II
Pada saat upacara dilangsungkan yang dipimpin oleh pendeta kerajaan, niat jahat dari Sang Raja telah diketahui oleh Dewa Indra, dan untuk menggagalkan maksud
nakal Raja Sagara tersebut, dewa Indra menjelma sebagai ASURA (Orang Jahat).
Ketika Kuda yang dijadikan korban telah dilepas, di tengah perjalanan Kuda tersebut dihalau oleh ASURA hingga masuk ke dalam tanah.
SITUASI & DIALOG III
Tempat : Kerajaan Ayodhya
Situasi: Tegang
Sri Baginda Raja Sagara sangat marah, setelah mengatahui kudanya hilang. Maka
segeralah memerintahkan ke 60.000 putra-putranya untuk mencari kudanya yang
telah menghilang itu.
Raja Sagara : Pengawal…….pengawal …….perdana mentri………..senapati dimana kalian semua, mengapa kuda korbannya bisa hilang ? apa kerja kalian siang dan malam, Aku telah menyuruhmu untuk menjaga dan mengawasi kuda tersebut mengapa bisa hilang ?. Purta-putraku semuanya sekarang kalian cepat pergi…. cari ke seluruh penjuru dan jangan kembali sebelum kalian menemukan kudanya !
Putra Raja : Baik Ayahnda, semua perintah paduka akan hamba lakukan……..hamba mohon pamit ! ( dengan sikap agak terpaksa dan ketakutan)
Demikianlah Sri Baginda Raja Sagara, yang sangat murka memerintahkan putra-putranya untuk mencari kuda korban itu tanpa ada yang berani membantah, walau dalam hati mereka sebenarnya enggan melaksanakan tugas tersebut.
SITUASI & DIALOG IV
Tempat: Pertapaan Rsi Kapila
Situasi: Tegang
Belum lama mengadakan perjalanan, putra-putra Raja Sagara telah dapat menemukan kuda
yang hilang itu. Ternyata kuda itu, berada di pertapaan Rsi Kapila. Hal ini menyebabkan Putra-putra Raja sagara tersebut berburuk sangka terhadap Rsi Kapila. Mereka menuduh Sang Rsi telah mencuri kudanya.
Putra Raja 1: Wahai Sang Rsi ……Kami Putra Raja Sagara dari kerajaan Ayodhya, sedang mencari kuda yajna yang menghilang, dan kami menemukan kuda tersebut di sini, pastilah Sang Rsi yang telah mencurinya ?
Rsi Kapila : Om Swastyastu…..terimalah hormat hamba sebagai abdimu, maaf tuan …..semua yang tuan tuduhkan itu tidaklah benar, kuda itu datang sendiri ke pertapaan hamba !
Putra Raja 2 : Aah…. Dasar pencuri !, mana ada pencuri yang mengaku ?...Kakanda pastilah Dia yang telah mencuri kuda ini, dan dia pantas dihukum atas kejahatannya ini.
Putra Raja 3 : Siksa saja Dia, lalu kita hanyutkan ke sungai, biar tahu rasa…..apa akibatnya kalau mencuri dan berbohong !
Niat buruk para Ksatria tersebut diketahui oleh Rsi Kapila, maka ia mendahului menghukum para Ksatria congkak itu. Melalui pancaran sinar sakti matanya, Rsi Kapila membakar habis ke 60.000 pura Raja Sagara hingga menjadi abu.
SITUASI & DIALOG V
Tempat : Kerajaan Ayodhya
Situasi : Cemas
Prabhu Sagara sangat gelisah, karena sudah cukup lama putra-putranya tidak kembali. Oleh karena itu, Sang Ansuman, putra yang telah menjadi pertapa itu, diperintahkan agar segera menyusul saudara-saudaranya dalam mencari kuda.
Raja Sagara : Pengawal……….segera engkau panggilkan putraku Sang Ansuman, untuk menghadapku !
Pengawal : Baik Yang Mulia
Sang Ansuman : Om Swastyastu ……Ayahnda, terimalah sembah bhakti hamba, kalau boleh hamba tahu apa yang menyebabkan mengapa Ayahnda begitu gelisah ?
Raja Sagara : Bagaimana Ayah tidak cemas, sejak kepergian saudara-saudaramu
mencari kuda yajna, hingga hari ini belum juga kembali, jangan – jangan mereka
mendapat celaka ! Itulsh sebabnya Ayah memanggilmu untuk segera menyusul
saudara-saudaramu mencari kuda terebut.
Sang Ansuman : Jika itu penyebab kegelisahan Ayahnda, saya siap melaksanakan tugas ini dan menemukan kembali kuda dan saudara-saudara saya. Ijinkalah saya menyusulnya sekarang juga !
Raja Sagara : Berangkatlah, doa dan restu ayah menyertaimu !
Sang Ansuman, setelah menghaturkan sembah, segera berangkat napak tilas perjalanan
saudara-saudaranya.
SITUASI DAN DIALOG VI
Tempat : Pertapaan Rsi Kapila
Sampailah Sang Ansuman di pertapaan Rsi Kapila. Ia melihat kuda yang dicarinya. Sang Ansuman, yang telah terbiasa bergaul dengan para pertapa, segera menghadap Sang Rsi. Ia duduk bersila di hadapan Rsi itu, kemudian menyembah kaki Rsi Kapila. Setelah
mengahaturkan sembah, Sang Ansuman memulai pembicaraan
Sang Ansuman : Om swastyastu Wahai Rsi Agung, terimalah sembah sujud saya…… Hamba Sang Ansuman Putra Raja Sagara dari Ayodhya,…….maaf Rsi Agung, kedatangan saya ke sini untuk mencari kuda yang hilang. Mungkinkah kuda yang dipertapaan ini milik keluarga kami ?
Rsi Kapila : Mungkin betul ananda. Kuda itu datang kemari sendiri dan aku hanya merawatnya. Periksalah terlebih dahulu, kalau memang kuda itu yang ananda cari, aku tidak keberatan untuk memberikan kuda itu kepadamu !
Belum sampai Sang Ansuman mengajukan permohonan, ternyata pertapa itu telah
menyerahkan kuda itu kepadanya. Hal ini terjadi karena Rsi kapila sangat senang
melihat Sang Ansuman yang gunawan.
Sang Ansuman : Terima kasih maha Rsi. Namun sebelum ananda mohon diri, perkenankanlah nanda mengajukan sebuah pertanyaan. Tidakkah Maha Rsi melihat ke 60.000 saudara saya, yang juga ditugaskan mencari kuda yang hilang ?
Rsi Kapila : Memang anakku, saudara-saudaramu telah datang kemari ! Rsi Kapila menarik napas panjang, raut mukanya nampak serius, kemudian melanjutkan percakapannya. Mereka datang kemari dengan tidak sopan, melanggar dharmaning ksatria, malah mereka telah berbuat Adipataka (dosa yang sangat besar dan berat). Mereka menuduhku mencuri kuda itu, dan mereka bermaksud akan mencelakakanku. Karena itulah, mereka terpaksa kumusnahkan, dengan menggunakan pancaran sakti mataku. Lihatlah sekeliling pertapaan ini, abu-abu yang berserakan itu adalah abu-abu saudaramu.
Sang Ansuman memandang sekeliling pertapaan. Ia terdiam seribu bahasa. Mukanya yang
tadinya ceria, kini dengan cepatnya berubah menjadi sayu. Ia sangat sedih,
walaupun mereka hanya saudara tiri, namun ia merasa turut kehilangan.
Rsi Kapila : Sudahlah Ansuman, Janganlah bersedih hati. Saudara-saudaramu itu masih bisa dihidupkan kembali. (kata Rsi kapila menghibur).
Sang Ansuman : Betulkah itu Maha Rsi ?
Rsi Kapila : Ya, saudara-saudaramu itu akan hidup kembali bila Dewi Gangga berkenan turun dari Sorga ke Bumi. Lakukanlah tapa, untuk memohon agar Dewi Gangga turun ke dunia !
Ansuman tidak berkata apa-apa, tetapi menganggukkan kepalanya suatu tanda telah mengerti akan nasihat Sang Rsi. Setelah bersujud mohon pamit , Ansuman berdiri, kemudian berjalan menuju tempat kuda diikatkan. Ia menuntun kuda itu pulang dengan langkah yang lunglai.
SITUASI DAN DIALOG VII
Tempat: Istana Ayodhya
Situasi: Riang-sedih
Perjalanan yang dirasa dekat pada waktu berangkatnya, kini terasa jauh. Langkah demi langkah, akhirnya tiba pula di Ayodhya. Diikatkanlah kuda itu di kandangnya.
Kemudian Sang Ansuman segera menghadap ayahanda raja, yang suatu kebetulan saat itu semua kerabat sedang berkumpul dalam persidangan. Sebagaimana biasanya, Sang Ansumanpun segera menghaturkan sembah ke hadapan ayahnya.
Sang Ansuman : Om Swastyastu …..sembah sujud hamba ayahnda.
Raja Sagara ; Sang Raja yang menerima sembah itu tahu, bahwa putranya dalam keadaan murung. Sementara semua kerabat, yang turut hadir dalam persidangan itu diam. Tidak seorangpun yang berbicara. Semua memperhatikan Sang Ansuman dengan penuh tanda tanya. Sekali lagi Ansuman mencium kaki ayahandanya, namun sang raja, belum juga mengerti apa yang dirisaukan putranya.
“Apa sebenarnya yang telah terjadi ananda?” Sang Prabu memulai pembicaraan. Dengan kata-kata yang tersendat-sendat,
Sang Ansuman : “Ramanda, saudara-saudarakua telah kena kutuk pastu bhagawan
kapila. Mereka dibakar habis menjadi abu.”
Suasana persidangan berubah seketika. Sekejap jerit tangis meledak memenuhi ruangan.
Air mata bercucuran. Hanya Sri Bagindalah yang tidak meneteskan air mata.
Beliau hanya menunduk sedih. Menyesali kejadian yang menimpa putra-putranya.
Sang Ansuman : “Ayahnda. Janganlah menyalahkan Rsi Kapila, apalagi menghukumnya. Beliau tidak bersalah justru saudara-saudarakulah yang telah berbuat Adipataka (dosa terbesar). Mereka telah merencanakan pembunuhan terhadap sang pertapa.”
Sang Raja: “Betul anakku merekalah yang bersalah. Terus apa yang dinasehatkan pertapa itu kepadamu?”
Sang Ansuman; “Saudara-saudaraku masih bisa dihidupkan kembali,”
Jawaban tersebut mengejutkan semua yang hadir, sehingga menubah suasana persidangan.
Suara tangispun mereda, walau isa-isak tangis masih terdengar di sana-sini.
Mereka dengan tekun mengikuti pembicaraan, penuh harap, agar kejadian yang
mustahil itu dapat terwujud.
Sang Raja : “Apa yang harus kita lakukan Ansuman, Ansuman?”
Sang Ansuman : “Rsi kapila menasehatkan, saudara-saudaraku bisa dihidupkan
kembali, jika Dewi Gangga telah dapat diturunkan dari Surga ke bumi.”
Semua yang hadir dalam persidangan, penuh tanda tanya, tetapi tidak seorangpun yang
berani bertanya. Namun bagi Sri baginda, hal itu sudah cukup dimengerti,
sehingga beliau menganggukkan kepalanya.
Sang Raja : “Ansuman anakku, dalam sastra suci telah disebutkan, bahwa putra adalah pelanjut dharma orang tua. Bersiap-siaplah, sudah waktunya ananda menggantikan ayah, memimpin rakyat Ayodhyajadilah pemimpin yang bijaksana, agar rakyat hidup tentram, damai, dan, sejahtera.”
Kisah selanjutnya, Ansuman menjadi raja di Ayodhya, sedang Prabhu Sagara melakukan
tapa guna memohon turunnya Dewi Gangga. Sampai akhir hayatnya, permohonan
Prabhu Sagara belum terkabulkan. Sehingga Ansuman melanjutkan melakukan tapa.
Tapi masih bernasib sama dengan ayahandanya. Permohonan belum juga terkabulkan.
Dilipa, putra Ansuman, juga menyusul melanjutkan dharma kakeknya. Ia gagal
pula. Dan akhirnya, sang Bagiratha, Putra Dilipa yang terkabulkan
permohonannya.
SITUASI DAN DIALOG VIII
Tempat: di tengah hutan
Situasi: damai
Sang Bagiratha, buyut Prabhu Sagara itu, telah bertapa dengan hebatnya. Sorga
tergoncang oleh tapanya sehingga Dewa Brahma berkenan turun ke bumi.
Dewa Brahma : “Ananda Bagiratha, tapamu begitu hebatnya, yang meresahkan para dewata. Apa yang kau kehendaki?”
Bagiratha : “Dewata yang selalu hamba puja, hamaba memohon agar Dewi Gangga diturunkah ke bumi di sekitar pertapaan Rsi Kapila. Hanya dengan cara itulah leluhurku yang terkena kutuk Rsi Kapila akan hidup kembali dan dibersihkan dari dosa dan noda.”
Dewa Brahma : Permohonanmu terkabulkan Bhagiratha, tetapi ketahuilah, Dewi Gangga akan turun dengan derasnya. Bumi pasti tergoncang karenanya. Segala yang dilaluinya pasti hancur, basmi buta semuanya. Hanya Siwalah yang dapat menghambatnya.”
SITUASI DAN DIALOG IX
Tempat: Di tengah hutan
Situasi: damai
Setelah menerima sembah dari Bagiratha, Dewa Brahma segera kembali ke Brahmaloka. Bhagiratha melanjutkan tapanya, guna memohon turunnya Dewa Siwa. Tak lama kemudian Siwa turun ke bumi mendatangi Bagiratha.
Dewa Siwa : “Hai, Bagirtha, tidakkah Brahma telah mengabulkan permohonanmu? Apalagi yang kau kehendaki dariku?”
Bagiratha : “Betul, permohonan hamba telah dikabulkan. Namun apa artinya hamba dapat menolong leluhur, tetapi membencanai orang lain? Oleh karena itu, hamba mohon, sudilah kiranya Hyang Siwa menghambat turunnya Dewi Gangga ke bumi secara tidak dahsyat.”
Dewa Siwa : “Permohonanmu kukabulkan,
Bagiratha.” Tanpa menunggu sembah Bhagiratha, Dewa Siwa segera menuju ke puncak gunung Kailasha.
Bhagirathapun segera menuju ke pertapaan Rsi Kapila. Untuk menyaksikan sendiri
keajaiban dunia yang akan segera terjadi itu.
SITUASI X
Sementara itu dunia menjadi gelap gulita dengan cepatnya. Awan hitam tebal menyelimuti bumi, suara gemuruh teriring kilatan petir yang yang dibarengi
dengan suara geledek yang mengerikan. Seolah maha pralaya telah tiba.
Bersamaan dengan itu Dewi Gangga turun ke bumi dengan dahsyatnya. Dewa Siwa yang
menyaksikan peristiwa itu segera berdiri di puncak Gunung Kailasha, anak
pegunungan Himalaya. Dewi Gangga dapat dihadang oleh Dewa Siwa, akan tetapi Dewi Gangga selalu berontak melepaskan diri.
Dewa Siwa segera membelit Dewi Gangga dengan perutnya, sehingga Dewi Gangga kehabisan akal. Namun Dewi Gangga dapat pula melepaskan diri dari lilitan rambut Dewa Siwa. Kini, muncullah Ia sendiri dari kepala Siwa, hanya saja Ia tercerai berai menjadi bagaian-bagaian kecil dan besar, mengalir ke seluruh India sehingga tidak membahayakan daerah-daerah yang di lewatinya. Bagiannya yang terbesar mengaliri pertapaan Rsi Kapila yang kini disebut Sungai Gangga. Bagian-bagian lainnya menjadi Sungai Yamuna, Saraswati, dan sebagainya. Berbahagialah Sang Bagiratha karena permohonannya telah terkabulkan. Leluhurnya telah dibersihkan dari dosa dan noda.
Kini leluhurnya yang terkena kutukan Rsi Kapila, telah hidup kembali.
KAJIAN MAKNA FILOSOFIS
Berkat dongeng tersebut di atas, sampai kini umat Hindu di India bahkan dunia mengakui dan mempercayai bahwa Sungai Gangga adalah sungai yang paling suci di
muka bumi ini. Umat Hindu memujanya bukan karena takut, tetapi mereka memuja
karena tahu bahwa sungai Gangga memilikki keajaiban.
Sekali lagi yang terpelajar harus bisa mengupas simbol-simbol yang terkandung dalam dongeng tersebut, misalnya:
1. Nama Sagara, berasal dari perkataan sanskrta, yang berarti lautan atau samudra.
2. Prabhu Sagara memilikki dua istri. Hal ini merupakan simbol, bahwa lautan itu memilikki dua sifat yang berlawanan, yaitu pasang dan surut (rwa bhineda)
3. Dari istri pertama, Prabhu Sagara mendapatkan Putra satu orang, sedang dari istri yang kedua mendapatkan putra sebanyak 60.000 orang Hal ini menjelaskan bahwa samudralah menadi asal mula beribi-ribu sungai di di dunia. Dan sekian banyak sungai tersebut hanya satu yang dianggap paling suci, yaitu Gangga.
4. ke 60.000 orang putra sagara mencari kuda ke dalam tanah dalam sekali. Itu melambangkan bahwa setiap sungai mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, yang akhirnya kembali ke samudera.
5. ke 60.000 orang putra sagara terbakar habis menjadi abu. Hal ini melambangkan bahwa sungau-sungai itu bila mati akan kering hanya kelihatan pasir-pasir atau menjadi padang pasir.
6. Sabda Rsi Kapila, yang menyatakan putra-putra Sagara itu akan hidup kembali setelah Dewi Gangga berkenan turun ke bumi, melambangkan sungai-sungai itu akan hidup kembali jika hujan telah turun ke bumi.
7. sabda Dewa Brahma, “Dewi Gangga akan turun ke bumi dengan dahsyatnya dan akan membawa bencana di bumi, meunjukkan bahwa hujan yang lebat akan membawa korban, membencanai makhluk hiudp dan korban harta benda.
8. Dewa Siwa menghadang turunnya Dewi Gangga di puncak gunung Kailasha serta membelit dengan rambutnya, mengandung simbol bahwa kepala Dewa Siwa sebagai simbol puncak gunung, sedang rambut Siwa sebagai simbol akar-akar pohon yang tumbuh di lereng-lereng gunung. Di daerah gununglah hujan yang lebat itu banayak terjadi. Air hujan itu meresap ke dalam tanah kemudian di tahan oleh akar pohon, maka air hujan tidak seluruhnya mengalir ke daerah lembah. Yang tertahan oleh akar-akar kemudian muncul sebagai mata air yang mengalir sepanjang masa, menyebabkan sungai-sungai hidup terus yang memberi kemakmuran.
Dari simbol-simbol itu dapatlah diambil kesimpulan, bahwa tujuan cerita tersebut adalah menerangkan sirkulasi air. Dan juga bermaksud mengajarkan tentang pentingnya menjaga kelestarian alam, yaitu dengan cara menjaga hutan di lereng maupun di kaki gunung. Umat manusia tidak menebang pohon-pohon seenaknya.
Telah menjadi kenyataan, bahwa bencana banjir, tanah longsor yang kini sering terjadi di negara kita bahkan di dunia adalah suatu akibat penggundulan hutan oleh masyarakat, tentunya masyarakat yang sudah tidak mempercayai dongeng-dongeng yang sudah dianggap kuno itu.
"Your Hand On Works But Your Heart On God"
pernah dipentaskan dalam bentuk drama tari di Pura Agung Tirta Bhuana -Bekasi Th. 2007
PENDAHULUAN
Umat Hindu memercikkan, meminum dan mengusapkan AIR SUCI pada kepala dan mukanya sebagai pengakhir dari persembahyangan mereka. Untuk mengetahui apa yang dinamai AIR SUCI dalam Agama Hindu kami akan memulainya dengan menguraikan mengenai air Suci Sungai Gangga, yang ada di Bharata Warsa yaitu India.
Dunia Barat, yang kini terkenal menjadi tempat pusat kemajuan teknologi mutakhir itu, pada jaman turunnya wahyu Veda di Dunia Timur, masih merupakan hutan rimba yang dihuni oleh manusia-manusia primitive.
Dengan turunnya wahyu Veda, berarti dimulainya peradaban manusia, dan itu dimulai dari Dunia Timur. Wahyu Veda disabdakan Hyang Widhi ke dunia melalui para Maharsi Bangsa Arya, yang terkenal genius itu. Sabda Tuhan tersebut diterima oleh para Maharsi melalui pendengarannya, sehingga kemudian sabda tersebut dinamai Sruti. Para Maharsi mampu mengingat-ingat wahyu Veda tersebut sampai akhir hayatnya.
Sebagai penerima wahyu, para Maharsi meiliki kewajiban untuk menyebarluaskan wahyu
tersebut kepada masyarakat. Dalam penyebarluasan Veda inilah para Maharsi
mengalami kesulitan, karena kemmpuan masyarakat berbeda-beda. Bagi mereka yang
pikirannya mampu, diberikan pelajaran setara ilmiah. Tetapi bagi yang sangat
awam, diajar Veda dengan penafsiran. Tafsir-tafsir Veda tersebut dinamai Smrti.
Salah satu macam tafsir Veda yang disebut kitab-kitab Purana, memuat
dongeng-dongeng keagamaan. Kini, kitab-kitab Purana tersebut berjumlah 36 pustaka. Bagi yang terpelajar, mungkin akan tersenyum tidak percaya bila telah membaca kitab-kitab Purana tersebut. Bahkan menuduh, bahwa penulis kitab-kitab Purana itu pembohong, penipu masyarakat yang sangat awam. Akan tetapi, pendapat tersebut akan hilang, apabila ia tahu, bahwa penulisan dongeng-dongeng dalam kitab-kitab Purana tersebut hanya merupakan simbolik-simbolik, merupakan gambran-gambaran yang mudah dimengerti oleh orang awam, yang mengandung makna dan kebenaran yang dapat diterima dengan wajar.
Jadi penulisan dongeng dalam kitab-kitab Purana tersebut, hanya merupakan media
atau alat pendidikan yang sederhana dan mudah bagi orang awam.
KISAH SUNGAI GANGGA DAN KAJIAN FILOSOFIS TRI HITA KARANA
Tentang kesucian sungai Gangga juga dimuat dalam kitab Purana. Berbentuk cerita yang sangat menarik bila dibacakan.
PROLOG:
Dahulu, kerajaan Ayodhya pernah diperintah oleh seorang raja yang bernama SAGARA.
Baginda mempunyai dua orang istri.. Dari istrinya yang pertama, Sang Raja
dianugerahi seorang Putra bernama ANSUMAN, dan setelah dewasa menjadi seorang
pertapa. Dan istri kedua baginda mendapatkan putra sebanyak 60.000 orang.
Diceritakanlah, pada suatu hari raja Sagara akan mengadakan Asvamedha Yajna atau Upacara Korban Kuda. Suatu upacara korban, harus didasari kesucian dan ketulusan hati. Nampaknya prinsip tersebut tidak dipegang oleh Sri Baginda. Ia mengadakan
Asvamedha Yajna, hanya ingin mendapatkan kemasyuran dirinya belaka, dan hanya
ingin menunjukkan kekuasaannya.
SITUASI & DIALOG I
Tempat: Kerajaan Ayodhya
Situasi: Paruman Kerajaan
Perdana Mentri : Om Swatyastu Paduka Raja, semoga atas anugerah Hyang Widhi Paduka dilimpahkan kemuliaan, mohon paduka menyampaikan amanat kepada hamba semua, ada tugas apa yang harus kami lakukan sehingga Paduka mengumpulkan kami semuanya ?
Raja Sagara : Wahai rakyatku yang setia……….setelah sekian lama Aku memerintah kerajaan Ini, tak terasa kerajaanku telah tumbuh menjadi kerajaan yang besar. Untuk itu Aku berniat menyelenggarakan Karya Agung yaitu Asvamedha Yajna, bagaimana menurutmu Perdana Mentri?
Perdana Mentri : Ampun Paduka, niat paduka itu sangat mulia, karena Asvamedha Yajna adalah upacara yang paling utama dari semua upacara korban, hamba sangat setuju dan akan mendukung niat paduka tersebut.
Raja Sagara : Perlu kalian ketahui maksudku melaksanakan upacara ini,…….. Aku ingin menjadi raja termasyur dan paling disegani di muka bumi ini, Aku ingin agar semuanya tunduk dan bersujud di bawah kekuasaanku, Aku ingin menjadi penguasa atas dunia ini.
Perdana Mentri : Baik Baginda…….Semua titah paduka akan hamba laksanakan.
Kemudian raja meninggalkan tempat diikuti oleh kedua istri, anak-anaknya dan iiring oleh punggawa kerajaan.
SITUASI II
Pada saat upacara dilangsungkan yang dipimpin oleh pendeta kerajaan, niat jahat dari Sang Raja telah diketahui oleh Dewa Indra, dan untuk menggagalkan maksud
nakal Raja Sagara tersebut, dewa Indra menjelma sebagai ASURA (Orang Jahat).
Ketika Kuda yang dijadikan korban telah dilepas, di tengah perjalanan Kuda tersebut dihalau oleh ASURA hingga masuk ke dalam tanah.
SITUASI & DIALOG III
Tempat : Kerajaan Ayodhya
Situasi: Tegang
Sri Baginda Raja Sagara sangat marah, setelah mengatahui kudanya hilang. Maka
segeralah memerintahkan ke 60.000 putra-putranya untuk mencari kudanya yang
telah menghilang itu.
Raja Sagara : Pengawal…….pengawal …….perdana mentri………..senapati dimana kalian semua, mengapa kuda korbannya bisa hilang ? apa kerja kalian siang dan malam, Aku telah menyuruhmu untuk menjaga dan mengawasi kuda tersebut mengapa bisa hilang ?. Purta-putraku semuanya sekarang kalian cepat pergi…. cari ke seluruh penjuru dan jangan kembali sebelum kalian menemukan kudanya !
Putra Raja : Baik Ayahnda, semua perintah paduka akan hamba lakukan……..hamba mohon pamit ! ( dengan sikap agak terpaksa dan ketakutan)
Demikianlah Sri Baginda Raja Sagara, yang sangat murka memerintahkan putra-putranya untuk mencari kuda korban itu tanpa ada yang berani membantah, walau dalam hati mereka sebenarnya enggan melaksanakan tugas tersebut.
SITUASI & DIALOG IV
Tempat: Pertapaan Rsi Kapila
Situasi: Tegang
Belum lama mengadakan perjalanan, putra-putra Raja Sagara telah dapat menemukan kuda
yang hilang itu. Ternyata kuda itu, berada di pertapaan Rsi Kapila. Hal ini menyebabkan Putra-putra Raja sagara tersebut berburuk sangka terhadap Rsi Kapila. Mereka menuduh Sang Rsi telah mencuri kudanya.
Putra Raja 1: Wahai Sang Rsi ……Kami Putra Raja Sagara dari kerajaan Ayodhya, sedang mencari kuda yajna yang menghilang, dan kami menemukan kuda tersebut di sini, pastilah Sang Rsi yang telah mencurinya ?
Rsi Kapila : Om Swastyastu…..terimalah hormat hamba sebagai abdimu, maaf tuan …..semua yang tuan tuduhkan itu tidaklah benar, kuda itu datang sendiri ke pertapaan hamba !
Putra Raja 2 : Aah…. Dasar pencuri !, mana ada pencuri yang mengaku ?...Kakanda pastilah Dia yang telah mencuri kuda ini, dan dia pantas dihukum atas kejahatannya ini.
Putra Raja 3 : Siksa saja Dia, lalu kita hanyutkan ke sungai, biar tahu rasa…..apa akibatnya kalau mencuri dan berbohong !
Niat buruk para Ksatria tersebut diketahui oleh Rsi Kapila, maka ia mendahului menghukum para Ksatria congkak itu. Melalui pancaran sinar sakti matanya, Rsi Kapila membakar habis ke 60.000 pura Raja Sagara hingga menjadi abu.
SITUASI & DIALOG V
Tempat : Kerajaan Ayodhya
Situasi : Cemas
Prabhu Sagara sangat gelisah, karena sudah cukup lama putra-putranya tidak kembali. Oleh karena itu, Sang Ansuman, putra yang telah menjadi pertapa itu, diperintahkan agar segera menyusul saudara-saudaranya dalam mencari kuda.
Raja Sagara : Pengawal……….segera engkau panggilkan putraku Sang Ansuman, untuk menghadapku !
Pengawal : Baik Yang Mulia
Sang Ansuman : Om Swastyastu ……Ayahnda, terimalah sembah bhakti hamba, kalau boleh hamba tahu apa yang menyebabkan mengapa Ayahnda begitu gelisah ?
Raja Sagara : Bagaimana Ayah tidak cemas, sejak kepergian saudara-saudaramu
mencari kuda yajna, hingga hari ini belum juga kembali, jangan – jangan mereka
mendapat celaka ! Itulsh sebabnya Ayah memanggilmu untuk segera menyusul
saudara-saudaramu mencari kuda terebut.
Sang Ansuman : Jika itu penyebab kegelisahan Ayahnda, saya siap melaksanakan tugas ini dan menemukan kembali kuda dan saudara-saudara saya. Ijinkalah saya menyusulnya sekarang juga !
Raja Sagara : Berangkatlah, doa dan restu ayah menyertaimu !
Sang Ansuman, setelah menghaturkan sembah, segera berangkat napak tilas perjalanan
saudara-saudaranya.
SITUASI DAN DIALOG VI
Tempat : Pertapaan Rsi Kapila
Sampailah Sang Ansuman di pertapaan Rsi Kapila. Ia melihat kuda yang dicarinya. Sang Ansuman, yang telah terbiasa bergaul dengan para pertapa, segera menghadap Sang Rsi. Ia duduk bersila di hadapan Rsi itu, kemudian menyembah kaki Rsi Kapila. Setelah
mengahaturkan sembah, Sang Ansuman memulai pembicaraan
Sang Ansuman : Om swastyastu Wahai Rsi Agung, terimalah sembah sujud saya…… Hamba Sang Ansuman Putra Raja Sagara dari Ayodhya,…….maaf Rsi Agung, kedatangan saya ke sini untuk mencari kuda yang hilang. Mungkinkah kuda yang dipertapaan ini milik keluarga kami ?
Rsi Kapila : Mungkin betul ananda. Kuda itu datang kemari sendiri dan aku hanya merawatnya. Periksalah terlebih dahulu, kalau memang kuda itu yang ananda cari, aku tidak keberatan untuk memberikan kuda itu kepadamu !
Belum sampai Sang Ansuman mengajukan permohonan, ternyata pertapa itu telah
menyerahkan kuda itu kepadanya. Hal ini terjadi karena Rsi kapila sangat senang
melihat Sang Ansuman yang gunawan.
Sang Ansuman : Terima kasih maha Rsi. Namun sebelum ananda mohon diri, perkenankanlah nanda mengajukan sebuah pertanyaan. Tidakkah Maha Rsi melihat ke 60.000 saudara saya, yang juga ditugaskan mencari kuda yang hilang ?
Rsi Kapila : Memang anakku, saudara-saudaramu telah datang kemari ! Rsi Kapila menarik napas panjang, raut mukanya nampak serius, kemudian melanjutkan percakapannya. Mereka datang kemari dengan tidak sopan, melanggar dharmaning ksatria, malah mereka telah berbuat Adipataka (dosa yang sangat besar dan berat). Mereka menuduhku mencuri kuda itu, dan mereka bermaksud akan mencelakakanku. Karena itulah, mereka terpaksa kumusnahkan, dengan menggunakan pancaran sakti mataku. Lihatlah sekeliling pertapaan ini, abu-abu yang berserakan itu adalah abu-abu saudaramu.
Sang Ansuman memandang sekeliling pertapaan. Ia terdiam seribu bahasa. Mukanya yang
tadinya ceria, kini dengan cepatnya berubah menjadi sayu. Ia sangat sedih,
walaupun mereka hanya saudara tiri, namun ia merasa turut kehilangan.
Rsi Kapila : Sudahlah Ansuman, Janganlah bersedih hati. Saudara-saudaramu itu masih bisa dihidupkan kembali. (kata Rsi kapila menghibur).
Sang Ansuman : Betulkah itu Maha Rsi ?
Rsi Kapila : Ya, saudara-saudaramu itu akan hidup kembali bila Dewi Gangga berkenan turun dari Sorga ke Bumi. Lakukanlah tapa, untuk memohon agar Dewi Gangga turun ke dunia !
Ansuman tidak berkata apa-apa, tetapi menganggukkan kepalanya suatu tanda telah mengerti akan nasihat Sang Rsi. Setelah bersujud mohon pamit , Ansuman berdiri, kemudian berjalan menuju tempat kuda diikatkan. Ia menuntun kuda itu pulang dengan langkah yang lunglai.
SITUASI DAN DIALOG VII
Tempat: Istana Ayodhya
Situasi: Riang-sedih
Perjalanan yang dirasa dekat pada waktu berangkatnya, kini terasa jauh. Langkah demi langkah, akhirnya tiba pula di Ayodhya. Diikatkanlah kuda itu di kandangnya.
Kemudian Sang Ansuman segera menghadap ayahanda raja, yang suatu kebetulan saat itu semua kerabat sedang berkumpul dalam persidangan. Sebagaimana biasanya, Sang Ansumanpun segera menghaturkan sembah ke hadapan ayahnya.
Sang Ansuman : Om Swastyastu …..sembah sujud hamba ayahnda.
Raja Sagara ; Sang Raja yang menerima sembah itu tahu, bahwa putranya dalam keadaan murung. Sementara semua kerabat, yang turut hadir dalam persidangan itu diam. Tidak seorangpun yang berbicara. Semua memperhatikan Sang Ansuman dengan penuh tanda tanya. Sekali lagi Ansuman mencium kaki ayahandanya, namun sang raja, belum juga mengerti apa yang dirisaukan putranya.
“Apa sebenarnya yang telah terjadi ananda?” Sang Prabu memulai pembicaraan. Dengan kata-kata yang tersendat-sendat,
Sang Ansuman : “Ramanda, saudara-saudarakua telah kena kutuk pastu bhagawan
kapila. Mereka dibakar habis menjadi abu.”
Suasana persidangan berubah seketika. Sekejap jerit tangis meledak memenuhi ruangan.
Air mata bercucuran. Hanya Sri Bagindalah yang tidak meneteskan air mata.
Beliau hanya menunduk sedih. Menyesali kejadian yang menimpa putra-putranya.
Sang Ansuman : “Ayahnda. Janganlah menyalahkan Rsi Kapila, apalagi menghukumnya. Beliau tidak bersalah justru saudara-saudarakulah yang telah berbuat Adipataka (dosa terbesar). Mereka telah merencanakan pembunuhan terhadap sang pertapa.”
Sang Raja: “Betul anakku merekalah yang bersalah. Terus apa yang dinasehatkan pertapa itu kepadamu?”
Sang Ansuman; “Saudara-saudaraku masih bisa dihidupkan kembali,”
Jawaban tersebut mengejutkan semua yang hadir, sehingga menubah suasana persidangan.
Suara tangispun mereda, walau isa-isak tangis masih terdengar di sana-sini.
Mereka dengan tekun mengikuti pembicaraan, penuh harap, agar kejadian yang
mustahil itu dapat terwujud.
Sang Raja : “Apa yang harus kita lakukan Ansuman, Ansuman?”
Sang Ansuman : “Rsi kapila menasehatkan, saudara-saudaraku bisa dihidupkan
kembali, jika Dewi Gangga telah dapat diturunkan dari Surga ke bumi.”
Semua yang hadir dalam persidangan, penuh tanda tanya, tetapi tidak seorangpun yang
berani bertanya. Namun bagi Sri baginda, hal itu sudah cukup dimengerti,
sehingga beliau menganggukkan kepalanya.
Sang Raja : “Ansuman anakku, dalam sastra suci telah disebutkan, bahwa putra adalah pelanjut dharma orang tua. Bersiap-siaplah, sudah waktunya ananda menggantikan ayah, memimpin rakyat Ayodhyajadilah pemimpin yang bijaksana, agar rakyat hidup tentram, damai, dan, sejahtera.”
Kisah selanjutnya, Ansuman menjadi raja di Ayodhya, sedang Prabhu Sagara melakukan
tapa guna memohon turunnya Dewi Gangga. Sampai akhir hayatnya, permohonan
Prabhu Sagara belum terkabulkan. Sehingga Ansuman melanjutkan melakukan tapa.
Tapi masih bernasib sama dengan ayahandanya. Permohonan belum juga terkabulkan.
Dilipa, putra Ansuman, juga menyusul melanjutkan dharma kakeknya. Ia gagal
pula. Dan akhirnya, sang Bagiratha, Putra Dilipa yang terkabulkan
permohonannya.
SITUASI DAN DIALOG VIII
Tempat: di tengah hutan
Situasi: damai
Sang Bagiratha, buyut Prabhu Sagara itu, telah bertapa dengan hebatnya. Sorga
tergoncang oleh tapanya sehingga Dewa Brahma berkenan turun ke bumi.
Dewa Brahma : “Ananda Bagiratha, tapamu begitu hebatnya, yang meresahkan para dewata. Apa yang kau kehendaki?”
Bagiratha : “Dewata yang selalu hamba puja, hamaba memohon agar Dewi Gangga diturunkah ke bumi di sekitar pertapaan Rsi Kapila. Hanya dengan cara itulah leluhurku yang terkena kutuk Rsi Kapila akan hidup kembali dan dibersihkan dari dosa dan noda.”
Dewa Brahma : Permohonanmu terkabulkan Bhagiratha, tetapi ketahuilah, Dewi Gangga akan turun dengan derasnya. Bumi pasti tergoncang karenanya. Segala yang dilaluinya pasti hancur, basmi buta semuanya. Hanya Siwalah yang dapat menghambatnya.”
SITUASI DAN DIALOG IX
Tempat: Di tengah hutan
Situasi: damai
Setelah menerima sembah dari Bagiratha, Dewa Brahma segera kembali ke Brahmaloka. Bhagiratha melanjutkan tapanya, guna memohon turunnya Dewa Siwa. Tak lama kemudian Siwa turun ke bumi mendatangi Bagiratha.
Dewa Siwa : “Hai, Bagirtha, tidakkah Brahma telah mengabulkan permohonanmu? Apalagi yang kau kehendaki dariku?”
Bagiratha : “Betul, permohonan hamba telah dikabulkan. Namun apa artinya hamba dapat menolong leluhur, tetapi membencanai orang lain? Oleh karena itu, hamba mohon, sudilah kiranya Hyang Siwa menghambat turunnya Dewi Gangga ke bumi secara tidak dahsyat.”
Dewa Siwa : “Permohonanmu kukabulkan,
Bagiratha.” Tanpa menunggu sembah Bhagiratha, Dewa Siwa segera menuju ke puncak gunung Kailasha.
Bhagirathapun segera menuju ke pertapaan Rsi Kapila. Untuk menyaksikan sendiri
keajaiban dunia yang akan segera terjadi itu.
SITUASI X
Sementara itu dunia menjadi gelap gulita dengan cepatnya. Awan hitam tebal menyelimuti bumi, suara gemuruh teriring kilatan petir yang yang dibarengi
dengan suara geledek yang mengerikan. Seolah maha pralaya telah tiba.
Bersamaan dengan itu Dewi Gangga turun ke bumi dengan dahsyatnya. Dewa Siwa yang
menyaksikan peristiwa itu segera berdiri di puncak Gunung Kailasha, anak
pegunungan Himalaya. Dewi Gangga dapat dihadang oleh Dewa Siwa, akan tetapi Dewi Gangga selalu berontak melepaskan diri.
Dewa Siwa segera membelit Dewi Gangga dengan perutnya, sehingga Dewi Gangga kehabisan akal. Namun Dewi Gangga dapat pula melepaskan diri dari lilitan rambut Dewa Siwa. Kini, muncullah Ia sendiri dari kepala Siwa, hanya saja Ia tercerai berai menjadi bagaian-bagaian kecil dan besar, mengalir ke seluruh India sehingga tidak membahayakan daerah-daerah yang di lewatinya. Bagiannya yang terbesar mengaliri pertapaan Rsi Kapila yang kini disebut Sungai Gangga. Bagian-bagian lainnya menjadi Sungai Yamuna, Saraswati, dan sebagainya. Berbahagialah Sang Bagiratha karena permohonannya telah terkabulkan. Leluhurnya telah dibersihkan dari dosa dan noda.
Kini leluhurnya yang terkena kutukan Rsi Kapila, telah hidup kembali.
KAJIAN MAKNA FILOSOFIS
Berkat dongeng tersebut di atas, sampai kini umat Hindu di India bahkan dunia mengakui dan mempercayai bahwa Sungai Gangga adalah sungai yang paling suci di
muka bumi ini. Umat Hindu memujanya bukan karena takut, tetapi mereka memuja
karena tahu bahwa sungai Gangga memilikki keajaiban.
Sekali lagi yang terpelajar harus bisa mengupas simbol-simbol yang terkandung dalam dongeng tersebut, misalnya:
1. Nama Sagara, berasal dari perkataan sanskrta, yang berarti lautan atau samudra.
2. Prabhu Sagara memilikki dua istri. Hal ini merupakan simbol, bahwa lautan itu memilikki dua sifat yang berlawanan, yaitu pasang dan surut (rwa bhineda)
3. Dari istri pertama, Prabhu Sagara mendapatkan Putra satu orang, sedang dari istri yang kedua mendapatkan putra sebanyak 60.000 orang Hal ini menjelaskan bahwa samudralah menadi asal mula beribi-ribu sungai di di dunia. Dan sekian banyak sungai tersebut hanya satu yang dianggap paling suci, yaitu Gangga.
4. ke 60.000 orang putra sagara mencari kuda ke dalam tanah dalam sekali. Itu melambangkan bahwa setiap sungai mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, yang akhirnya kembali ke samudera.
5. ke 60.000 orang putra sagara terbakar habis menjadi abu. Hal ini melambangkan bahwa sungau-sungai itu bila mati akan kering hanya kelihatan pasir-pasir atau menjadi padang pasir.
6. Sabda Rsi Kapila, yang menyatakan putra-putra Sagara itu akan hidup kembali setelah Dewi Gangga berkenan turun ke bumi, melambangkan sungai-sungai itu akan hidup kembali jika hujan telah turun ke bumi.
7. sabda Dewa Brahma, “Dewi Gangga akan turun ke bumi dengan dahsyatnya dan akan membawa bencana di bumi, meunjukkan bahwa hujan yang lebat akan membawa korban, membencanai makhluk hiudp dan korban harta benda.
8. Dewa Siwa menghadang turunnya Dewi Gangga di puncak gunung Kailasha serta membelit dengan rambutnya, mengandung simbol bahwa kepala Dewa Siwa sebagai simbol puncak gunung, sedang rambut Siwa sebagai simbol akar-akar pohon yang tumbuh di lereng-lereng gunung. Di daerah gununglah hujan yang lebat itu banayak terjadi. Air hujan itu meresap ke dalam tanah kemudian di tahan oleh akar pohon, maka air hujan tidak seluruhnya mengalir ke daerah lembah. Yang tertahan oleh akar-akar kemudian muncul sebagai mata air yang mengalir sepanjang masa, menyebabkan sungai-sungai hidup terus yang memberi kemakmuran.
Dari simbol-simbol itu dapatlah diambil kesimpulan, bahwa tujuan cerita tersebut adalah menerangkan sirkulasi air. Dan juga bermaksud mengajarkan tentang pentingnya menjaga kelestarian alam, yaitu dengan cara menjaga hutan di lereng maupun di kaki gunung. Umat manusia tidak menebang pohon-pohon seenaknya.
Telah menjadi kenyataan, bahwa bencana banjir, tanah longsor yang kini sering terjadi di negara kita bahkan di dunia adalah suatu akibat penggundulan hutan oleh masyarakat, tentunya masyarakat yang sudah tidak mempercayai dongeng-dongeng yang sudah dianggap kuno itu.
"Your Hand On Works But Your Heart On God"
HUBUNGAN HINDU DAN BUDDHA DALAM MASYARAKAT
Om Swastyastu,
Dalam Hindu, Buddha dipandang sebagai avatara ke-9. Setelah masa Krisna. Ia adalah perwujudan dari Visnu untuk menegakkan kembali kebenaran yang telah banyak dinodai oleh kebatilan. Beliau lahir dari seorang ayah yang beragama Hindu (Sanathana Dharma) dan meninggalpun sebagai seorang penganut Sanathana Dharma.
Beliau adalah seorang pangeran dan pertapa Hindu yang berhasil mencapai pencerahan (Buddha). Beliau mengejawantahkan inti sari pati Veda. Beliau sangat dekat dengan rakyat dan kaum miskin. Bahasa yang digunakan dalam penyebaran ajaran-ajaran Beliau, menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh kaum fakir miskin. Beliau menolak ketika murid-murinya yang dari kaum Brahmana memohon ujin untuk menterjemahkan dalam bahasa Sanskertha.
Bahkan suatu ketika Beliau rela menukar nyawanya dengan seekor domba saat ada orang yang ingin mengorbankan domba untuk persembahan, Beliau mengatakan: “Bila dengan membunuh domba engkau bisa mencapai realisasi, maka bunuhlah aku dengan mengorbankan manusia tentu engkau akan mendapatkan tempat yang lebih mulia”..
The Buddha’s teaching formed an integral part of Hinduism, which “owes on eternal debt of gratitude to that great teacher,” who was “one of the greatest Hindu reformers,” a “Hindu of Hindus.” He never rejected Hinduism but broadened its base. He made some of the words of the Vedas yield meanings more relevant to the age. (Mahatma Ghandi)
Ghandi memandang Buddha adalah Hindu of Hindus, Beliau tidak pernah menolak Hindu, tetapi Beliau menafsirkan Hindu dengan sudut pandang yang berbeda yang lebih luas. Beliau menjelaskan Veda dengan kata-kata yang sesuai dengan Jamannya.
Beliau memiliki cinta kasih yang luar biasa, tak terbatas oleh ruang dan waktu. Senantiasa memberikan contoh nyata dalam kehidupan, Beliau mengajrkan pada kita bagaimana menjadi seorang Karma Yogi sejati. “Do Good Be Good” Lakukan yang baik dan jadilah orang baik, salah satu nasehat Beliau pada umat manusia untuk melepaskan diri dari keterikatan.
Buddha mengajak kita jangan terlalu mudah percaya pada segala sesuatu, tetapi selalu melakukan penyelidikan untuk mengetahui kebenarannya. Bila sesuatu itu bermanfaat bagi dirimu dan orang lain serta dunia, nah itulah yang kamu terima dan jalani. Tapi kalo hal itu menyebabkan penderitaan bagi dirimu dan orang lain, hindarilah hal itu.
Menurut tradisi Buddha, tokoh historis Buddha Siddharta Gautama dilahirkan dari suku Sakya pada awal masa Magadha (546–324 SM), di sebuah kota, selatan pegunungan Himalaya yang bernama Lumbini. Sekarang kota ini terletak di Nepal sebelah selatan. Ia juga dikenal dengan nama Sakyamuni (harafiah: orang bijak dari kaum Sakya").
Setelah kehidupan awalnya yang penuh kemewahan di bawah perlindungan ayahnya, raja Kapilavastu (kemudian hari digabungkan pada kerajaan Magadha), Siddharta melihat kenyataan kehidupan sehari-hari dan menarik kesimpulan bahwa kehidupan nyata, pada hakekatnya adalah kesengsaraan yang tak dapat dihindari. Siddharta kemudian meninggalkan kehidupan mewahnya yang tak ada artinya lalu menjadi seorang pertapa. Kemudian ia berpendapat bahwa bertapa juga tak ada artinya, dan lalu mencari jalan tengah (majhima patipada ). Jalan tengah ini merupakan sebuah kompromis antara kehidupan berfoya-foya yang terlalu memuaskan hawa nafsu dan kehidupan bertapa yang terlalu menyiksa diri.
Di bawah sebuah pohon bodhi, ia berkaul tidak akan pernah meninggalkan posisinya sampai ia menemukan Kebenaran. Pada usia 35 tahun, ia mencapai Pencerahan. Pada saat itu ia dikenal sebagai Gautama Buddha, atau hanya "Buddha" saja, sebuah kata Sansekerta yang berarti "ia yang sadar" (dari kata budh+ta).
Untuk 45 tahun selanjutnya, ia menelusuri dataran Gangga di tengah India (daerah mengalirnya sungai Gangga dan anak-anak sungainya), sembari menyebarkan ajarannya kepada sejumlah orang yang berbeda-beda.
…Shaakya Muni himself was a monk, and it was his glory that he had the large heartedness to bring out the truths from the hidden Vedas and throw them broadcast all over the world. He was the first being in the world that brought missionarising into practice- nay; he was the first to conceive the idea of proselytising.
The great glory of the Master lay in his wonderful sympathy for everybody, especially for the ignorant and the poor. Some of his disciples were Brahmins. When Buddha was teaching, Sanskrit was no more the spoken language in India. It was then only in the books of the learned. Some of Buddha’s Brahmin disciples wanted to translate his teachings into Sanskrit, but he distinctly told them, "I am for the poor, for the people; let me speak in the tongue of the people." And so to this day the great bulk of his teachings are in the vernacular of that day in India.
Whatever may be the position of philosophy, whatever may the position of metaphysics, so long as there is such a thing as death in the world, so long as there is such a thing as weakness in the human heart, so long there is a cry going out of the heart of man in his very weakness, there shall be a faith in God…. (Buddhism, The fulfillment of Hinduism, By Swami Vivekananda, The first disciple of Sri Ramakrishna Paramhansa
Talk delivered at the Parliament of Religions, Chicago, 26-09-1893)
Dr. Radhakrishnan. Dalam bukunya ''Indian Religious'', ia menulis: 'Agama Buddha tidak mulai sebagai agama yang baru dan berdiri sendiri. Agama Buddha adalah bagian kepercayaan kuno agama Hindu...''(hal.104).
Selanjutnya Beliau menulis: Buddha meninggalkan jejak kakinya di atas tanah India dan capnya pada jiwa negara tersebut dengan berbagai kebiasaan dan keyakinannya. Pada saat ajaran Buddha mengambil bentuk-bentuk khusus di berbagai negara lain di dunia dalam penegasan tradisi-tradisi mereka di sini, di rumah Buddha, ajaran tersebut telah meresap dan menjadi bagian utuh budaya kita. Para Brahmana dan Sramana diperlakukan sama oleh Buddha dan kedua tradisi tersebut berangsur-angsur bercampur. Dalam artian Buddha adalah pencipta agama Hindu modern.
Dalam kata pengantarnya, Bhupendra Kumar Modi menulis, ''Perlu ditekankan bahwa Bhagavan Buddha adalah bagian tradisi keagamaan Hindu dan tidak terlepas dari agama Hindu. Bhagavan Buddha lahir sebagai orang Hindu dan sampai meninggal beliau tetap seorang Hindu yang menafsirkan agama Hindu dari sebuah sudut pandang yang baru.''
(Resensi Buku dengan judul: Agama Hindu Kebenaran Universal, Penyusun : Dr.Bhupendra Kumar Modi, Alih Bahasa: Dr. Somvir & Eka Savitri)
…Hinduism cannot live without Buddhism, nor Buddhism without Hinduism. Then realise what the separation has shown to us, that the Buddhists cannot stand without the brain and philosophy of the Brahmins, nor the Brahmin without the heart of the Buddhist. This separation between the Buddhists and the Brahmins is the cause of the downfall of India.. (Buddhism, The fulfillment of Hinduism, By Swami Vivekananda, The first disciple of Sri Ramakrishna Paramhansa, Talk delivered at the Parliament of Religions, Chicago, 26-09-1893)
Hinduisme tidak bisa hidup tanpa Buddhisme, demikian pula sebaliknya Buddhisme tidak bisa hidup tanpa Hinduisme. Kemudian menyadari apa yang memisahkan yang terlihat oleh kita, bahwa Budhisme tidak dapat berdiri tanpa otak dan filsafat dari para Brahmin, demikian pula para Brahmin tidak dapat berdiri tanpa hati Buddhisme. Pemisahan antara Buddhisme dan Brahmin inilah penyebab kemerosotan India.
Di Indonesia, Hindu dan Buddha telah melebur menjadi satu melahirkan sebuah Negara yang kuat dimasa keemasan Prabu Hayam Wuruk (Hindu) dengan patihnya Gajah Mada (Buddha). Mpu Tantular dalam karyanya Sutasoma menuliskan: “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua” lebih lengkapnya:
Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini secara lengkap seperti di bawah ini:
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Terjemahan:
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jualah itu.
Tidak ada kerancuan dalam kebenaran
Om Santi Santi Santi Om
Sumber:
1. http://www.hinduism.co.za/buddhism.htm#Buddhism,%20The%20fulfillment%20of%20Hinduism
2. http://wirajhana-eka.blogspot.com/2008/02/sidhartha-gautama-buddha-hindu-hindu.html
3. http://www.iop.or.jp/0414/anand.pdf
4. www.wikipedia.com
Dalam Hindu, Buddha dipandang sebagai avatara ke-9. Setelah masa Krisna. Ia adalah perwujudan dari Visnu untuk menegakkan kembali kebenaran yang telah banyak dinodai oleh kebatilan. Beliau lahir dari seorang ayah yang beragama Hindu (Sanathana Dharma) dan meninggalpun sebagai seorang penganut Sanathana Dharma.
Beliau adalah seorang pangeran dan pertapa Hindu yang berhasil mencapai pencerahan (Buddha). Beliau mengejawantahkan inti sari pati Veda. Beliau sangat dekat dengan rakyat dan kaum miskin. Bahasa yang digunakan dalam penyebaran ajaran-ajaran Beliau, menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh kaum fakir miskin. Beliau menolak ketika murid-murinya yang dari kaum Brahmana memohon ujin untuk menterjemahkan dalam bahasa Sanskertha.
Bahkan suatu ketika Beliau rela menukar nyawanya dengan seekor domba saat ada orang yang ingin mengorbankan domba untuk persembahan, Beliau mengatakan: “Bila dengan membunuh domba engkau bisa mencapai realisasi, maka bunuhlah aku dengan mengorbankan manusia tentu engkau akan mendapatkan tempat yang lebih mulia”..
The Buddha’s teaching formed an integral part of Hinduism, which “owes on eternal debt of gratitude to that great teacher,” who was “one of the greatest Hindu reformers,” a “Hindu of Hindus.” He never rejected Hinduism but broadened its base. He made some of the words of the Vedas yield meanings more relevant to the age. (Mahatma Ghandi)
Ghandi memandang Buddha adalah Hindu of Hindus, Beliau tidak pernah menolak Hindu, tetapi Beliau menafsirkan Hindu dengan sudut pandang yang berbeda yang lebih luas. Beliau menjelaskan Veda dengan kata-kata yang sesuai dengan Jamannya.
Beliau memiliki cinta kasih yang luar biasa, tak terbatas oleh ruang dan waktu. Senantiasa memberikan contoh nyata dalam kehidupan, Beliau mengajrkan pada kita bagaimana menjadi seorang Karma Yogi sejati. “Do Good Be Good” Lakukan yang baik dan jadilah orang baik, salah satu nasehat Beliau pada umat manusia untuk melepaskan diri dari keterikatan.
Buddha mengajak kita jangan terlalu mudah percaya pada segala sesuatu, tetapi selalu melakukan penyelidikan untuk mengetahui kebenarannya. Bila sesuatu itu bermanfaat bagi dirimu dan orang lain serta dunia, nah itulah yang kamu terima dan jalani. Tapi kalo hal itu menyebabkan penderitaan bagi dirimu dan orang lain, hindarilah hal itu.
Menurut tradisi Buddha, tokoh historis Buddha Siddharta Gautama dilahirkan dari suku Sakya pada awal masa Magadha (546–324 SM), di sebuah kota, selatan pegunungan Himalaya yang bernama Lumbini. Sekarang kota ini terletak di Nepal sebelah selatan. Ia juga dikenal dengan nama Sakyamuni (harafiah: orang bijak dari kaum Sakya").
Setelah kehidupan awalnya yang penuh kemewahan di bawah perlindungan ayahnya, raja Kapilavastu (kemudian hari digabungkan pada kerajaan Magadha), Siddharta melihat kenyataan kehidupan sehari-hari dan menarik kesimpulan bahwa kehidupan nyata, pada hakekatnya adalah kesengsaraan yang tak dapat dihindari. Siddharta kemudian meninggalkan kehidupan mewahnya yang tak ada artinya lalu menjadi seorang pertapa. Kemudian ia berpendapat bahwa bertapa juga tak ada artinya, dan lalu mencari jalan tengah (majhima patipada ). Jalan tengah ini merupakan sebuah kompromis antara kehidupan berfoya-foya yang terlalu memuaskan hawa nafsu dan kehidupan bertapa yang terlalu menyiksa diri.
Di bawah sebuah pohon bodhi, ia berkaul tidak akan pernah meninggalkan posisinya sampai ia menemukan Kebenaran. Pada usia 35 tahun, ia mencapai Pencerahan. Pada saat itu ia dikenal sebagai Gautama Buddha, atau hanya "Buddha" saja, sebuah kata Sansekerta yang berarti "ia yang sadar" (dari kata budh+ta).
Untuk 45 tahun selanjutnya, ia menelusuri dataran Gangga di tengah India (daerah mengalirnya sungai Gangga dan anak-anak sungainya), sembari menyebarkan ajarannya kepada sejumlah orang yang berbeda-beda.
…Shaakya Muni himself was a monk, and it was his glory that he had the large heartedness to bring out the truths from the hidden Vedas and throw them broadcast all over the world. He was the first being in the world that brought missionarising into practice- nay; he was the first to conceive the idea of proselytising.
The great glory of the Master lay in his wonderful sympathy for everybody, especially for the ignorant and the poor. Some of his disciples were Brahmins. When Buddha was teaching, Sanskrit was no more the spoken language in India. It was then only in the books of the learned. Some of Buddha’s Brahmin disciples wanted to translate his teachings into Sanskrit, but he distinctly told them, "I am for the poor, for the people; let me speak in the tongue of the people." And so to this day the great bulk of his teachings are in the vernacular of that day in India.
Whatever may be the position of philosophy, whatever may the position of metaphysics, so long as there is such a thing as death in the world, so long as there is such a thing as weakness in the human heart, so long there is a cry going out of the heart of man in his very weakness, there shall be a faith in God…. (Buddhism, The fulfillment of Hinduism, By Swami Vivekananda, The first disciple of Sri Ramakrishna Paramhansa
Talk delivered at the Parliament of Religions, Chicago, 26-09-1893)
Dr. Radhakrishnan. Dalam bukunya ''Indian Religious'', ia menulis: 'Agama Buddha tidak mulai sebagai agama yang baru dan berdiri sendiri. Agama Buddha adalah bagian kepercayaan kuno agama Hindu...''(hal.104).
Selanjutnya Beliau menulis: Buddha meninggalkan jejak kakinya di atas tanah India dan capnya pada jiwa negara tersebut dengan berbagai kebiasaan dan keyakinannya. Pada saat ajaran Buddha mengambil bentuk-bentuk khusus di berbagai negara lain di dunia dalam penegasan tradisi-tradisi mereka di sini, di rumah Buddha, ajaran tersebut telah meresap dan menjadi bagian utuh budaya kita. Para Brahmana dan Sramana diperlakukan sama oleh Buddha dan kedua tradisi tersebut berangsur-angsur bercampur. Dalam artian Buddha adalah pencipta agama Hindu modern.
Dalam kata pengantarnya, Bhupendra Kumar Modi menulis, ''Perlu ditekankan bahwa Bhagavan Buddha adalah bagian tradisi keagamaan Hindu dan tidak terlepas dari agama Hindu. Bhagavan Buddha lahir sebagai orang Hindu dan sampai meninggal beliau tetap seorang Hindu yang menafsirkan agama Hindu dari sebuah sudut pandang yang baru.''
(Resensi Buku dengan judul: Agama Hindu Kebenaran Universal, Penyusun : Dr.Bhupendra Kumar Modi, Alih Bahasa: Dr. Somvir & Eka Savitri)
…Hinduism cannot live without Buddhism, nor Buddhism without Hinduism. Then realise what the separation has shown to us, that the Buddhists cannot stand without the brain and philosophy of the Brahmins, nor the Brahmin without the heart of the Buddhist. This separation between the Buddhists and the Brahmins is the cause of the downfall of India.. (Buddhism, The fulfillment of Hinduism, By Swami Vivekananda, The first disciple of Sri Ramakrishna Paramhansa, Talk delivered at the Parliament of Religions, Chicago, 26-09-1893)
Hinduisme tidak bisa hidup tanpa Buddhisme, demikian pula sebaliknya Buddhisme tidak bisa hidup tanpa Hinduisme. Kemudian menyadari apa yang memisahkan yang terlihat oleh kita, bahwa Budhisme tidak dapat berdiri tanpa otak dan filsafat dari para Brahmin, demikian pula para Brahmin tidak dapat berdiri tanpa hati Buddhisme. Pemisahan antara Buddhisme dan Brahmin inilah penyebab kemerosotan India.
Di Indonesia, Hindu dan Buddha telah melebur menjadi satu melahirkan sebuah Negara yang kuat dimasa keemasan Prabu Hayam Wuruk (Hindu) dengan patihnya Gajah Mada (Buddha). Mpu Tantular dalam karyanya Sutasoma menuliskan: “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua” lebih lengkapnya:
Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini secara lengkap seperti di bawah ini:
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Terjemahan:
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jualah itu.
Tidak ada kerancuan dalam kebenaran
Om Santi Santi Santi Om
Sumber:
1. http://www.hinduism.co.za/buddhism.htm#Buddhism,%20The%20fulfillment%20of%20Hinduism
2. http://wirajhana-eka.blogspot.com/2008/02/sidhartha-gautama-buddha-hindu-hindu.html
3. http://www.iop.or.jp/0414/anand.pdf
4. www.wikipedia.com
PERBEDAAN HINDU INDIA DAN HINDU INDONESIA
Om Swastyastu,
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan banyak kemudahan bagi kehidupan manusia di berbagai bidang. Informasi dari berbagai Negara sangat mudah didapat dengan semakin majunya teknologi informasi. Kemudahan-kemudahan ini membantu kita untuk mendapatkan informasi adanya kebutuhan tenaga Kerja di Negara-negara tetangga dengan berbagai paket yang ditawarkan.
Keadaan ekonomi yang masih belum mapan di negeri kita mendorong banyak tenaga-tenaga professional hijrah dari Indonesia ke seluruh penjuru dunia. Dalam kesehariannya mereka berkomunikasi dengan berbagai macam budaya, agama, ras, suku bangsa dan bahasa.
Perbedaan yang ada menimbulkan banyak pertanyaan, hal ini wajar saja karena sifat manusia yang memang selalu ingin mengetahui lebih dalam tentang segala sesuatu hal. Salah satu pertanyaan yang sering kami terima dari temen-temen kerja terutama dari agama lain adalah, “Kenapa Hindu Indonesia (Bali) berbeda dengan Hindu India..?”.
Kalo dilihat dari sisi luar, perbedaan antara Hindu Indonesia dengan Hindu India sangat kentara. Baik dari makanan yang dimakan, Pakaian sembahyang, Hari Suci yang dirayakan maupun hal-hal lain yang bisa dilihat dengan kasat mata. Sebagai contoh, rekan-rekan kerja kami yang berasal dari negeri anak benoa dimana Veda diwahyukan, mereka mayoritas vegetarian, sementara kami dari Indonesia mayoritas non vegetarian. Kami sembahyang tiga kali yang disebut dengan Tri Sandhya, mereka temen-temen dari India biasanya sembahyang dua kali pagi dan sore.
Sebenarnya seperti apakah spiritual Hindu itu…? Mari kita renungkan bersama.
“Being spiritual is being natural” ungkapan ini sangat sering kita dengarkan dari para penekun spiritual di berbagai negara. Benarkah seperti itu…? Bila ditelusuri lebih dalam, memang sesungguhnya kembali ke alam itu yang membuat kita menjadi damai dan tenang. Angin yang sejuk, hamparan tetumbuhan yang menghijau, gemericik air jernih sungai di pegunungan, kicauan burung yang merdu dengan beraneka lagu dan nada, tidak bisa kita pungkiri telah membangun kenyamanan, menciptakan ketengan pikiran dan kedamaian di hati.
Tak heran bila banyak para pelancong rela berkunjung ke Negara-negara yang jauh dari negerinya demi mendapatkan suasana baru, yang memberikan kenyamanan. “Back to the nature” katanya. Mungkin ini pula alasan kenapa Candi, Pura/Temple dibangun di tempat-tempat yang Indah dan hijau, dipuncak gunung, di tepi pantai, di pinggir sungai atau danau. Hal ini pun saya rasakan sendiri, ketika berada di pura luhur Lempuyang misalnya; melihat hamparan hutan menghijau yang luas, samudra yang membiru membentang di hadapan kita, langit yang cerah dengan sinar mentarinya yang demikian kuat menyapu kegelapan menerangi maya pada ini, membuat saya merasa sangat kecil, seluruh ego tersedot habis digantikan dengan perasaan lain yang sangat nyaman yang sangat sulit dilukiskan dengan kata-kata, mungkin ini yang disebut cinta dan kasih murni.
Demikian pula halnya Agama Hind, dalam setiap ajarannya selalu mengajarkan kedamaian, dekat dengan alam, mempersembahkan aneka hasil alam kepada Hyang Maha Kuasa, menghormati semua unsur di alam ini. Mulai dari tetumbuhan dengan adanya tumpek wariga, hewan ada tumpek kandang, alat-alat atau senjata/perkakas, tumpek landep, buku/pustaka ada hari saraswati, semua energi atau mahluk-mahluk bawahan yang tampak maupun tidak tampak yang dikenal dengan butha yadnya. Menjaga keharmonisan dengan Tuhan dengan upacara Deva yadnya, dengan menjalin harmonisasi dengan sesama manusia ada upacara Rsi Yadnya, Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya, melalui sila karma, pesantian, menyama braya. Ketiga hubungan harmonis ini di Bali dikenal dengan Tri Hita Karana, tiga keharmonisan yang membawa pada suasana kebahagiaan.
Keihlasan dalam segala aktivitas dan keharmonisan adalah inti dari semua aktivitas spiritual Hindu, Keharmonisan inipun terjalin dengan budaya local yang melahirkan senergi yang mampu menghadirkan kedamaian di setiap hati sanubari penganutnya. Agama Hindu Dharma total lebur dengan budaya local yang menghasilkan bentuk pemujaan yang berbeda-beda.
Kalo kita buka kembali pelajaran Agama Hindu, sesungguhnya agama kita memiliki tiga batang tubuh (tri kerangka dasar) yang terdiri dari:
1. Tatwa : Filsafat
2. Etika: Susila
3. Ritual: Upacara
Untuk Tattwa/filsafat dan Etika atau Susila, akan kita temukan kesamaan di seluruh penganut agama Hindu dimanapun mereka berada. Sumber utama dari Tattwa adalah Kitab Suci Veda. Kemudian dijelaskan dalam Upanisad, Dharmasastra, Itihasa/Wiracarita seperti Mahabharata dan Ramayana, Bhagavad Gita, Yoga Wasista, Wrehaspati Tattwa, Sarasammuccaya, Srimad Bhagavatam, dan lain-lain.
Di Bali ada lagi lontar-lontar yang ditulis oleh para Mpu yang telah mencapai tingkatan spiritual yang tinggi seperti: lontar sundari gama, lontar buana kosa, lontar sangkul putih, dan lain-lain.
Salah satu contoh kesamaan ajaran yang bisa dijumpai di berbagai daerah di Indonesia maupun di India adalah Lima Keyakinan yang dikenal dengan nama Panca Sradda yaitu:
1. Percaya dengan adanya Tuhan,
2. Percaya dengan adanya Atman,
3. Percaya dengan adanya Hukum Karma Phala,
4. Percaya dengan adanya Reinkarnasi/Punarbawa/Samsara,
5. Percaya dengan adanya Moksa.
Panca Sradda merupakan inti kepercayaan agama Hindu, dapat kita jumpai dengan berbagai bahasa sesuai dengan wilayah dimana penganutnya berada.
Dalam Etika yang merupakan perwujudan nyata dari aplikasi tattwa yang telah dipelajari, pun tampak kesamaan, semua orang Hindu akan berusaha untuk tidak menyakiti atau menyiksa mahluk lain (Ahimsa). Semua orang hindu berusaha memperlakukan manusia yang lain seperti saudaranya, “Vasudaiva Kutum Bakam” Semua mahluk dilahirkan bersaudara. “Tat Twam Asi” artinya; kamu adalah aku, aku adalah kami, bila aku menyakitimu, sama dengan aku menyakiti diriku sendiri. Selalu berkata jujur (Arjawa), Setia pada kata hati/nurani (Satya Hredaya), Setia pada janji (Satya Samaya), Setia pada perkataan (Satya Wacana), setia/ berani bertanggung jawab pada perbuatannya (Satya Laksana’), setia pada kawan (Satya Mitra). Menjaga pikiran, perbuatan dan perkataannya selaras, selalu terkondisi pada kebaikan (Tri Kaya Parisudha; Manacika =pikiran suci, Wacika=perkataan suci dan Kayika=perbuatan yang suci).
Setiap orang hindu melakukan sembahyang memuja Tuhan dan Leluhur, melakukan puasa, melakukan punia (yadnya) tidak perduli entah dia orang India, orang Bali, orang Jawa, orang Sulawesi, orang Lampung, orang Lombok, orang Belgia, orang Amerika, ataupun orang Australia.
Perbedaan mulai tampak pada kerangka dasar yang ketiga yaitu yang disebut dengan Upacara atau Ritual dan Hari Raya. Di sini tradisi dari masing-masing wilayah mewarnai setiap upacara yang ada. Histori di setiap daerahpun berbeda, peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dalam perjalanan juga tidak sama, sehingga melahirkan perayaan Hari Raya yang berbeda guna memperingati peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah kehidupan manusia yang pernah terjadi, yang nantinya bisa selalu diingat dan dijadikan suri teladan dalam mengarungi kehidupan di maya pada ini.
Jangankan Hindu India dan Indonesia, antara Hindu Bali dengan di Jawa saja ada banyak perbedaan, untuk memahami perbedaan-perbedaan ini mari kita tengok sejarah perkembangan Hindu di Bali seperti yang dituturkan oleh Ida Pandita Nabe Sri Bhagavan Dwija dalam karyanya: “Hindu dalam Wacana Bali Sentris”
Pengantar Agama Hindu untuk perguruan tinggi, Cudamani, 1990 ada tujuh Maha Rsi yaitu Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasista, dan Kanwa yang menerima wahyu Weda di India sekitar 2500 tahun sebelum Masehi.
Mereka mengembangkan agama Hindu masing-masing menurut bagian-bagian Weda tertentu. Kemudian para pengikutnya mengembangkan ajaran yang diterima dari guru mereka sehingga lama kelamaan terbentuklah sekta-sekta yang jumlahnya ratusan. Sekta-sekta yang terbanyak pengikutnya antara lain: Pasupata, Linggayat Bhagawata, Waisnawa, Indra, Saura, dan Siwa Sidhanta.
Sekta Siwa Sidhanta dipimpin oleh Maha Rsi Agastya di daerah Madyapradesh (India tengah) kemudian menyebar ke Indonesia. Di Indonesia seorang Maha Rsi pengembang sekta ini yang berasal dari pasraman Agastya Madyapradesh dikenal dengan berbagai nama antara lain: Kumbhayoni, Hari Candana, Kalasaja, dan Trinawindu. Yang populer di Bali adalah nama Trinawindu atau Bhatara Guru, begitu disebut-sebut dalam lontar kuno seperti Eka Pratama.
Ajaran Siwa Sidhanta mempunyai ciri-ciri khas yang berbeda dengan sekta Siwa yang lain. Sidhanta artinya kesimpulan sehingga Siwa Sidanta artinya kesimpulan dari Siwaisme. Kenapa dibuat kesimpulan ajaran Siwa? karena Maha Rsi Agastya merasa sangat sulit menyampaikan pemahaman kepada para pengikutnya tentang ajaran Siwa yang mencakup bidang sangat luas.
Diibaratkan seperti mengenalkan binatang gajah kepada orang buta; jika yang diraba kakinya, maka orang buta mengatakan gajah itu bentuknya seperti pohon kelapa; bila yang diraba belalainya mereka mengatakan gajah itu seperti ular besar. Metode pengenalan yang tepat adalah membuat patung gajah kecil yang bisa diraba agar si buta dapat memahami anatomi gajah keseluruhan.
Bagi penganut Siwa Sidhanta kitab suci Weda-pun dipelajari yang pokok-pokok / intinya saja; resume Weda itu dinamakan Weda Sirah (sirah artinya kepala atau pokok-pokok). Lontar yang sangat populer bagi penganut Siwa Sidhanta di Bali antara lain Wrhaspati Tattwa. Pemantapan paham Siwa Sidhanta di Bali dilakukan oleh dua tokoh terkemuka yaitu Mpu Kuturan dan Mpu/Danghyang Nirartha.
Di India wahyu Hyang Widhi diterima oleh Sapta Rsi dan dituangkan dalam susunan sistematis oleh Bhagawan Abyasa dalam bentuk Catur Weda. Pengawi dan ahli Weda I Gusti Bagus Sugriwa dalam bukunya: Dwijendra Tattwa, Upada Sastra, 1991 menyiratkan bahwa di Bali wahyu Hyang Widhi diterima setidak-tidaknya oleh enam Maha Rsi. Wahyu-wahyu itu memantapkan pemahaman Siwa Sidhanta meliputi tiga kerangka Agama Hindu yaitu Tattwa, Susila, dan Upacara. Wahyu-wahyu itu berupa pemikiran-pemikiran cemerlang dan wangsit yang diterima oleh orang-orang suci di Bali sekitar abad ke delapan sampai ke-empat belas yaitu :
1. DANGHYANG MARKANDEYA
Pada abad ke-8 beliau mendapat wahyu di Gunung Di Hyang (sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan palinggih di Tolangkir (sekarang Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah.
Setelah menetap di Taro, Tegal lalang - Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siwa Sidhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya sewana, Bebali (banten), dan Pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali maka ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali.
Daerah tempat tinggal beliau dinamakan Bali. Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa Sidanta menurut petunjuk-petunjuk Danghyang Markandeya yang menggunakan bebali atau banten.
Selain Besakih, beliau juga membangun pura-pura Sad Kahyangan lainnya yaitu: Batur, Sukawana, Batukaru, Andakasa, dan Lempuyang.
Beliau juga mendapat wahyu ketika Hyang Widhi berwujud sebagai sinar terang gemerlap yang menyerupai sinar matahari dan bulan. Oleh karena itu beliau menetapkan bahwa warna merah sebagai simbol matahari dan warna putih sebagai simbol bulan digunakan dalam hiasan di Pura antara lain berupa ider-ider, lelontek, dll.
Selain itu beliau mengenalkan hari Tumpek Kandang untuk mohon keselamatan pada Hyang Widhi, digelari Rare Angon yang menciptakan darah, dan hari Tumpek Pengatag untuk menghormati Hyang Widhi, digelari Sanghyang Tumuwuh yang menciptakan getah.
2. MPU SANGKULPUTIH
Setelah Danghyang Markandeya moksah, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhan lainnya seperti daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan: pisang, kelapa, dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak.
Bentuk banten yang diciptakan antara lain canang sari, canang tubugan, canang raka, daksina, peras, panyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe, dll. Banten dibuat menarik dan indah untuk menggugah rasa bhakti kepada Hyang Widhi agar timbul getaran-getaran spiritual.
Di samping itu beliau mendidik para pengikutnya menjadi sulinggih dengan gelar Dukuh, Prawayah, dan Kabayan.
Beliau juga pelopor pembuatan arca/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi.
Tak kurang pentingnya, beliau mengenalkan tata cara pelaksanan peringatan hari Piodalan di Pura Besakih dan pura-pura lainnya, ritual hari-hari raya : Galungan, Kuningan, Pagerwesi, Nyepi, dll.
Jabatan resmi beliau adalah Sulinggih yang bertanggung jawab di Pura Besakih dan pura-pura lainnya yang telah didirikan oleh Danghyang Markandeya.
3. MPU KUTURAN
Pada abad ke-11 datanglah ke Bali seorang Brahmana dari Majapahit yang berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali.
Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan Pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih.
Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangider-ider).
4. MPU MANIK ANGKERAN
Setelah Mpu Sangkulputih moksah, tugas-tugas beliau diganti oleh Mpu Manik Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra.
Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut segara rupek.
5. MPU JIWAYA
Beliau menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran Tantri terutama kepada kaum bangsawan di zaman Dinasti Warmadewa (abad ke-9).
Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dll.
6. DANGHYANG DWIJENDRA
Datang di Bali pada abad ke-14 ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaannya adalah Padmasari atau Padmasana.
Jika konsep Trimurti dari Mpu Kuturan adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan horizontal, maka konsep Tripurusa adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan vertikal.
Danghyang Dwijendra mempunyai Bhiseka lain : Mpu / Danghyang Nirarta, dan dijuluki : Pedanda Sakti Wawu Rawuh karena beliau mempunyai kemampuan supra natural yang membuat Dalem Waturenggong sangat kagum sehingga beliau diangkat menjadi Bhagawanta (pendeta kerajaan).
Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat pekraman dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan.
Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kekawin. Karya sastra beliau yang terkenal antara lain : Sebun bangkung, Sara kusuma, Legarang, Mahisa langit, Dharma pitutur, Wilet Demung Sawit, Gagutuk menur, Brati Sesana, Siwa Sesana, Aji Pangukiran, dll.
Beliau juga aktif mengunjungi rakyat di berbagai pedesaan untuk memberikan Dharma wacana.
Saksi sejarah kegiatan ini adalah didirikannya Pura-pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim membimbing umat misalnya : Purancak, Rambut siwi, Pakendungan, Hulu watu, Bukit Gong, Bukit Payung, Sakenan, Air Jeruk, Tugu, Tengkulak, Gowa Lawah, Ponjok Batu, Suranadi (Lombok), Pangajengan, Masceti, Peti Tenget, Amertasari, Melanting, Pulaki, Bukcabe, Dalem Gandamayu, Pucak Tedung, dll.
Ke-enam tokoh suci tersebut telah memberi ciri yang khas pada kehidupan beragama Hindu di Bali sehingga terwujudlah tattwa dan ritual yang khusus yang membedakan Hindu-Bali dengan Hindu di luar Bali.
Dari luar agama Hindu antar satu daerah dengan daerah yang lain tampak berbeda, namun sesungguhnya essensinya sama, bersumber dari ajaran mahaluhur yang universal untuk mewujudkan satyam = kebenaran, sivam=kedamaian dan sundaram=keindahan.
Penerapan agama Hindu agar berhasil harus disesuaikan dengan tujuan (Iksha), kemampuan (Sakti), aturan setempat (Desa) dan waktu (Kala). Namun dalam pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan Tattwa atau kebenaran Veda. Hal inilah yang menyebabkan Hindu di India dan Hindu di Bali atau di mana saja selalu berbeda-beda bentuk penampilan luarnya. Lima pertimbangan ini sebagaimana dutuliskan dalam Manawa Dharma Sastra:
Karyam so'veksya saktimca
Desakaala ca tattvatah
Kurute dharmasiddhiyartham
Visvaruupam punah punah.
(Manawa Dharmasastra VIII.10)
Maksudnya:
Setelah mempertimbangkan iksha (tujuan), sakti (kemampuan), desa (aturan setempat), kala (waktu) dan tattwa (kebenaran) untuk menyukseskan tujuan agama (Dharmasiddhiyartha) maka ia wujudkan dirinya dengan bermacam macam wujud.
Di Bali sinergi Agama Hindu dengan budaya Bali mampu meningkatkan dan mengembangkan kualitas budaya Bali. Dalam sinergi itu tampak Agama Hindu sebagai titik sentral (pusat) yang menjiwai semua aspek budaya Bali.
Agama Hindu bersinergi melalui:
(1) Sistem bahasa, yakni Bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno.
(2) Sistem pengetahuan.
(3) Sistem sosial seperti Desa Pakraman dan Subak.
(4) Sistem peralatan hidup dan teknologi.
(5) Sistem mata pencaharian masyarakat.
(6) Sistem religi, Agama Hindu menghargai kepercayaan lokal, dan
(7) Sistem kesenian seperti Seni Wali (sakral), Seni Bebali (dapat berfungsi sebagai seni sakral dapat pula untuk kegiatan profan), dan Seni Balih-Balihan (hanya untuk hiburan) .
Upacara hendaknya lahir dari hati yang tulus, ikhlas melaksanakan semua aktivitasnya, ikhlas untuk mengorbankan waktu, tenaga, materi dan pikiran. Bentuk aturan/sesajen yang dipersembahkan hendaknya berasal dari keringat sendiri, bukan dari hasil mencuri, meminta atau menipu.
Pelaksanaan aktivitas spiritual sifatnya sangatlah pribadi dan bergantung pada individu masing-masing. Walaupun yang dipelajari sama tapi pengertian dan pemahaman setiap orang itu sangatlah unik, satu sama lain tidak sama, karena manusia memiliki pengalaman yang berbeda, pengetahuan yang berbeda, dibesarkan dalam lingkungan keluarga dan tempat yang berbeda, latar belakang pendidikan yang berbeda, memiliki bakat dan minat yang berbeda pula, pendek kata memiliki guna dan karma yang tidak sama.
Kemerdekaan setiap individu yang merupakan anugrah Hyang Widhi dalam Hindu sangatlah dijaga baik dalam berfikir, berkata dan berbuat. Hindu Dharma tidak pernah menuntut sesuatu pengekangan yang tidak semestinya terhadap kemerdekaan dari kemampuan berpikir, kemerdekaan dari perasaan dan pemikiran manusia. Ia memperkenalkan kebebasan yang paling luas dalam masalah keyakinan dan pemujaan. Hindu Dharma adalah suatu agama pembebasan. Ia memperkenalkan kebebasan mutlak terhadap kemampuan berpikir dan perasaan manusia dengan memandang pertanyaan-pertanyaan yang mendalam terhadap hakekat Tuhan Yang Maha Esa, jiwa, penciptaan, bentuk pemujaan dan tujuan kehidupan ini.
Hindu Dharma tidak bersandar pada satu doktrin tertentu ataupun ketaatan akan beberapa macam ritual tertentu maupun dogma-dogma atau bentuk-bentuk pemujaan tertentu. Ia memperkenalkan kepada setiap orang untuk merenungkan, menyelidiki, mencari dan memikirkannya, oleh karena itu, segala macam keyakinan/Sraddha, bermacam-macam bentuk pemujaan atau Sadhana, bermacam-macam ritual serta adat-istiadat yang berbeda, memperoleh tempat yang terhormat secara berdampingan dalam Hindu Dharma dan dibudayakan serta dikembangkan dalam hubungan yang selaras antara yang satu dengan yang lainnya
Hindu Dharma sangatlah universal, bebas, toleran dan luwes. Inilah gambaran indah tentang Hindu Dharma. Seorang asing merasa terpesona keheranan apabila mendengar tentang sekta-sekta dan keyakinan yang berbeda -beda dalam Hindu Dharma; tetapi perbedaan-perbedaan itu sesungguhnya merupakan berbagai tipe pemahaman dan tempramen, sehingga menjadi keyakinan yang bermacam-macam pula. Hal ini adalah wajar. Hal ini merupakan ajaran yang utama dari Hindu Dharma; karena dalam Hindu dharma tersedia tempat bagi semua tipe pemikiran dari yang tertinggi sampai yang terendah, demi untuk pertumbuhan dan evolusi mereka. (Svami Sivananda,1988:134).
Hindu Dharma mempunyai banyak kamar untuk setiap keyakinan dan Hindu Dharma merangkum semua keyakinan tersebut dengan toleransi yang sangat luas. (Max Muller)
Agama Hindu menyerupai sebatang pohon yang tumbuh perlahan dibandingkan sebuah bangunan yang dibangun oleh arsitek besar pada saat tertentu. (Dr. K.M. Sen)
Perbedaan adalah sesuatu yang sangat alamiah sifatnya. Sangatlah wajar bila ada perbedaan antara satu wilayah dengan wilayah yang lain dalam satu negara, apalagi dalam teriorial yang lebih besar, antara Hindu India dan Hindu Indonesia. Namun hendaknya perbedaan ini janganlah dipertentangkan, ini dipahami sebagai sesuatu yang alami. Perbedaan ini merupakan bukti nyata betapa alamiahnya Agama Hindu, sangat sesuai dengan pernyataan awal “Being spiritual is being natural”.
Untuk mengakhiri karya kecil ini perkenankanlah saya mengutip pernyataan dari tokoh agama kita Mahatma Gandhi (2004:166)
“Aku tidak ingin setiap sisi rumahku tertutup tembok dengan jendela serta pintu yang terkunci. Aku ingin budaya dari semua negeri berhembus ke dalam rumahku sebebas mungkin. Yang ada padaku bukanlah suatu agama yang seperti penjara”
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan banyak kemudahan bagi kehidupan manusia di berbagai bidang. Informasi dari berbagai Negara sangat mudah didapat dengan semakin majunya teknologi informasi. Kemudahan-kemudahan ini membantu kita untuk mendapatkan informasi adanya kebutuhan tenaga Kerja di Negara-negara tetangga dengan berbagai paket yang ditawarkan.
Keadaan ekonomi yang masih belum mapan di negeri kita mendorong banyak tenaga-tenaga professional hijrah dari Indonesia ke seluruh penjuru dunia. Dalam kesehariannya mereka berkomunikasi dengan berbagai macam budaya, agama, ras, suku bangsa dan bahasa.
Perbedaan yang ada menimbulkan banyak pertanyaan, hal ini wajar saja karena sifat manusia yang memang selalu ingin mengetahui lebih dalam tentang segala sesuatu hal. Salah satu pertanyaan yang sering kami terima dari temen-temen kerja terutama dari agama lain adalah, “Kenapa Hindu Indonesia (Bali) berbeda dengan Hindu India..?”.
Kalo dilihat dari sisi luar, perbedaan antara Hindu Indonesia dengan Hindu India sangat kentara. Baik dari makanan yang dimakan, Pakaian sembahyang, Hari Suci yang dirayakan maupun hal-hal lain yang bisa dilihat dengan kasat mata. Sebagai contoh, rekan-rekan kerja kami yang berasal dari negeri anak benoa dimana Veda diwahyukan, mereka mayoritas vegetarian, sementara kami dari Indonesia mayoritas non vegetarian. Kami sembahyang tiga kali yang disebut dengan Tri Sandhya, mereka temen-temen dari India biasanya sembahyang dua kali pagi dan sore.
Sebenarnya seperti apakah spiritual Hindu itu…? Mari kita renungkan bersama.
“Being spiritual is being natural” ungkapan ini sangat sering kita dengarkan dari para penekun spiritual di berbagai negara. Benarkah seperti itu…? Bila ditelusuri lebih dalam, memang sesungguhnya kembali ke alam itu yang membuat kita menjadi damai dan tenang. Angin yang sejuk, hamparan tetumbuhan yang menghijau, gemericik air jernih sungai di pegunungan, kicauan burung yang merdu dengan beraneka lagu dan nada, tidak bisa kita pungkiri telah membangun kenyamanan, menciptakan ketengan pikiran dan kedamaian di hati.
Tak heran bila banyak para pelancong rela berkunjung ke Negara-negara yang jauh dari negerinya demi mendapatkan suasana baru, yang memberikan kenyamanan. “Back to the nature” katanya. Mungkin ini pula alasan kenapa Candi, Pura/Temple dibangun di tempat-tempat yang Indah dan hijau, dipuncak gunung, di tepi pantai, di pinggir sungai atau danau. Hal ini pun saya rasakan sendiri, ketika berada di pura luhur Lempuyang misalnya; melihat hamparan hutan menghijau yang luas, samudra yang membiru membentang di hadapan kita, langit yang cerah dengan sinar mentarinya yang demikian kuat menyapu kegelapan menerangi maya pada ini, membuat saya merasa sangat kecil, seluruh ego tersedot habis digantikan dengan perasaan lain yang sangat nyaman yang sangat sulit dilukiskan dengan kata-kata, mungkin ini yang disebut cinta dan kasih murni.
Demikian pula halnya Agama Hind, dalam setiap ajarannya selalu mengajarkan kedamaian, dekat dengan alam, mempersembahkan aneka hasil alam kepada Hyang Maha Kuasa, menghormati semua unsur di alam ini. Mulai dari tetumbuhan dengan adanya tumpek wariga, hewan ada tumpek kandang, alat-alat atau senjata/perkakas, tumpek landep, buku/pustaka ada hari saraswati, semua energi atau mahluk-mahluk bawahan yang tampak maupun tidak tampak yang dikenal dengan butha yadnya. Menjaga keharmonisan dengan Tuhan dengan upacara Deva yadnya, dengan menjalin harmonisasi dengan sesama manusia ada upacara Rsi Yadnya, Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya, melalui sila karma, pesantian, menyama braya. Ketiga hubungan harmonis ini di Bali dikenal dengan Tri Hita Karana, tiga keharmonisan yang membawa pada suasana kebahagiaan.
Keihlasan dalam segala aktivitas dan keharmonisan adalah inti dari semua aktivitas spiritual Hindu, Keharmonisan inipun terjalin dengan budaya local yang melahirkan senergi yang mampu menghadirkan kedamaian di setiap hati sanubari penganutnya. Agama Hindu Dharma total lebur dengan budaya local yang menghasilkan bentuk pemujaan yang berbeda-beda.
Kalo kita buka kembali pelajaran Agama Hindu, sesungguhnya agama kita memiliki tiga batang tubuh (tri kerangka dasar) yang terdiri dari:
1. Tatwa : Filsafat
2. Etika: Susila
3. Ritual: Upacara
Untuk Tattwa/filsafat dan Etika atau Susila, akan kita temukan kesamaan di seluruh penganut agama Hindu dimanapun mereka berada. Sumber utama dari Tattwa adalah Kitab Suci Veda. Kemudian dijelaskan dalam Upanisad, Dharmasastra, Itihasa/Wiracarita seperti Mahabharata dan Ramayana, Bhagavad Gita, Yoga Wasista, Wrehaspati Tattwa, Sarasammuccaya, Srimad Bhagavatam, dan lain-lain.
Di Bali ada lagi lontar-lontar yang ditulis oleh para Mpu yang telah mencapai tingkatan spiritual yang tinggi seperti: lontar sundari gama, lontar buana kosa, lontar sangkul putih, dan lain-lain.
Salah satu contoh kesamaan ajaran yang bisa dijumpai di berbagai daerah di Indonesia maupun di India adalah Lima Keyakinan yang dikenal dengan nama Panca Sradda yaitu:
1. Percaya dengan adanya Tuhan,
2. Percaya dengan adanya Atman,
3. Percaya dengan adanya Hukum Karma Phala,
4. Percaya dengan adanya Reinkarnasi/Punarbawa/Samsara,
5. Percaya dengan adanya Moksa.
Panca Sradda merupakan inti kepercayaan agama Hindu, dapat kita jumpai dengan berbagai bahasa sesuai dengan wilayah dimana penganutnya berada.
Dalam Etika yang merupakan perwujudan nyata dari aplikasi tattwa yang telah dipelajari, pun tampak kesamaan, semua orang Hindu akan berusaha untuk tidak menyakiti atau menyiksa mahluk lain (Ahimsa). Semua orang hindu berusaha memperlakukan manusia yang lain seperti saudaranya, “Vasudaiva Kutum Bakam” Semua mahluk dilahirkan bersaudara. “Tat Twam Asi” artinya; kamu adalah aku, aku adalah kami, bila aku menyakitimu, sama dengan aku menyakiti diriku sendiri. Selalu berkata jujur (Arjawa), Setia pada kata hati/nurani (Satya Hredaya), Setia pada janji (Satya Samaya), Setia pada perkataan (Satya Wacana), setia/ berani bertanggung jawab pada perbuatannya (Satya Laksana’), setia pada kawan (Satya Mitra). Menjaga pikiran, perbuatan dan perkataannya selaras, selalu terkondisi pada kebaikan (Tri Kaya Parisudha; Manacika =pikiran suci, Wacika=perkataan suci dan Kayika=perbuatan yang suci).
Setiap orang hindu melakukan sembahyang memuja Tuhan dan Leluhur, melakukan puasa, melakukan punia (yadnya) tidak perduli entah dia orang India, orang Bali, orang Jawa, orang Sulawesi, orang Lampung, orang Lombok, orang Belgia, orang Amerika, ataupun orang Australia.
Perbedaan mulai tampak pada kerangka dasar yang ketiga yaitu yang disebut dengan Upacara atau Ritual dan Hari Raya. Di sini tradisi dari masing-masing wilayah mewarnai setiap upacara yang ada. Histori di setiap daerahpun berbeda, peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dalam perjalanan juga tidak sama, sehingga melahirkan perayaan Hari Raya yang berbeda guna memperingati peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah kehidupan manusia yang pernah terjadi, yang nantinya bisa selalu diingat dan dijadikan suri teladan dalam mengarungi kehidupan di maya pada ini.
Jangankan Hindu India dan Indonesia, antara Hindu Bali dengan di Jawa saja ada banyak perbedaan, untuk memahami perbedaan-perbedaan ini mari kita tengok sejarah perkembangan Hindu di Bali seperti yang dituturkan oleh Ida Pandita Nabe Sri Bhagavan Dwija dalam karyanya: “Hindu dalam Wacana Bali Sentris”
Pengantar Agama Hindu untuk perguruan tinggi, Cudamani, 1990 ada tujuh Maha Rsi yaitu Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasista, dan Kanwa yang menerima wahyu Weda di India sekitar 2500 tahun sebelum Masehi.
Mereka mengembangkan agama Hindu masing-masing menurut bagian-bagian Weda tertentu. Kemudian para pengikutnya mengembangkan ajaran yang diterima dari guru mereka sehingga lama kelamaan terbentuklah sekta-sekta yang jumlahnya ratusan. Sekta-sekta yang terbanyak pengikutnya antara lain: Pasupata, Linggayat Bhagawata, Waisnawa, Indra, Saura, dan Siwa Sidhanta.
Sekta Siwa Sidhanta dipimpin oleh Maha Rsi Agastya di daerah Madyapradesh (India tengah) kemudian menyebar ke Indonesia. Di Indonesia seorang Maha Rsi pengembang sekta ini yang berasal dari pasraman Agastya Madyapradesh dikenal dengan berbagai nama antara lain: Kumbhayoni, Hari Candana, Kalasaja, dan Trinawindu. Yang populer di Bali adalah nama Trinawindu atau Bhatara Guru, begitu disebut-sebut dalam lontar kuno seperti Eka Pratama.
Ajaran Siwa Sidhanta mempunyai ciri-ciri khas yang berbeda dengan sekta Siwa yang lain. Sidhanta artinya kesimpulan sehingga Siwa Sidanta artinya kesimpulan dari Siwaisme. Kenapa dibuat kesimpulan ajaran Siwa? karena Maha Rsi Agastya merasa sangat sulit menyampaikan pemahaman kepada para pengikutnya tentang ajaran Siwa yang mencakup bidang sangat luas.
Diibaratkan seperti mengenalkan binatang gajah kepada orang buta; jika yang diraba kakinya, maka orang buta mengatakan gajah itu bentuknya seperti pohon kelapa; bila yang diraba belalainya mereka mengatakan gajah itu seperti ular besar. Metode pengenalan yang tepat adalah membuat patung gajah kecil yang bisa diraba agar si buta dapat memahami anatomi gajah keseluruhan.
Bagi penganut Siwa Sidhanta kitab suci Weda-pun dipelajari yang pokok-pokok / intinya saja; resume Weda itu dinamakan Weda Sirah (sirah artinya kepala atau pokok-pokok). Lontar yang sangat populer bagi penganut Siwa Sidhanta di Bali antara lain Wrhaspati Tattwa. Pemantapan paham Siwa Sidhanta di Bali dilakukan oleh dua tokoh terkemuka yaitu Mpu Kuturan dan Mpu/Danghyang Nirartha.
Di India wahyu Hyang Widhi diterima oleh Sapta Rsi dan dituangkan dalam susunan sistematis oleh Bhagawan Abyasa dalam bentuk Catur Weda. Pengawi dan ahli Weda I Gusti Bagus Sugriwa dalam bukunya: Dwijendra Tattwa, Upada Sastra, 1991 menyiratkan bahwa di Bali wahyu Hyang Widhi diterima setidak-tidaknya oleh enam Maha Rsi. Wahyu-wahyu itu memantapkan pemahaman Siwa Sidhanta meliputi tiga kerangka Agama Hindu yaitu Tattwa, Susila, dan Upacara. Wahyu-wahyu itu berupa pemikiran-pemikiran cemerlang dan wangsit yang diterima oleh orang-orang suci di Bali sekitar abad ke delapan sampai ke-empat belas yaitu :
1. DANGHYANG MARKANDEYA
Pada abad ke-8 beliau mendapat wahyu di Gunung Di Hyang (sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan palinggih di Tolangkir (sekarang Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah.
Setelah menetap di Taro, Tegal lalang - Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siwa Sidhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya sewana, Bebali (banten), dan Pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali maka ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali.
Daerah tempat tinggal beliau dinamakan Bali. Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa Sidanta menurut petunjuk-petunjuk Danghyang Markandeya yang menggunakan bebali atau banten.
Selain Besakih, beliau juga membangun pura-pura Sad Kahyangan lainnya yaitu: Batur, Sukawana, Batukaru, Andakasa, dan Lempuyang.
Beliau juga mendapat wahyu ketika Hyang Widhi berwujud sebagai sinar terang gemerlap yang menyerupai sinar matahari dan bulan. Oleh karena itu beliau menetapkan bahwa warna merah sebagai simbol matahari dan warna putih sebagai simbol bulan digunakan dalam hiasan di Pura antara lain berupa ider-ider, lelontek, dll.
Selain itu beliau mengenalkan hari Tumpek Kandang untuk mohon keselamatan pada Hyang Widhi, digelari Rare Angon yang menciptakan darah, dan hari Tumpek Pengatag untuk menghormati Hyang Widhi, digelari Sanghyang Tumuwuh yang menciptakan getah.
2. MPU SANGKULPUTIH
Setelah Danghyang Markandeya moksah, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhan lainnya seperti daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan: pisang, kelapa, dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak.
Bentuk banten yang diciptakan antara lain canang sari, canang tubugan, canang raka, daksina, peras, panyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe, dll. Banten dibuat menarik dan indah untuk menggugah rasa bhakti kepada Hyang Widhi agar timbul getaran-getaran spiritual.
Di samping itu beliau mendidik para pengikutnya menjadi sulinggih dengan gelar Dukuh, Prawayah, dan Kabayan.
Beliau juga pelopor pembuatan arca/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi.
Tak kurang pentingnya, beliau mengenalkan tata cara pelaksanan peringatan hari Piodalan di Pura Besakih dan pura-pura lainnya, ritual hari-hari raya : Galungan, Kuningan, Pagerwesi, Nyepi, dll.
Jabatan resmi beliau adalah Sulinggih yang bertanggung jawab di Pura Besakih dan pura-pura lainnya yang telah didirikan oleh Danghyang Markandeya.
3. MPU KUTURAN
Pada abad ke-11 datanglah ke Bali seorang Brahmana dari Majapahit yang berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali.
Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan Pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih.
Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangider-ider).
4. MPU MANIK ANGKERAN
Setelah Mpu Sangkulputih moksah, tugas-tugas beliau diganti oleh Mpu Manik Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra.
Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut segara rupek.
5. MPU JIWAYA
Beliau menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran Tantri terutama kepada kaum bangsawan di zaman Dinasti Warmadewa (abad ke-9).
Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dll.
6. DANGHYANG DWIJENDRA
Datang di Bali pada abad ke-14 ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaannya adalah Padmasari atau Padmasana.
Jika konsep Trimurti dari Mpu Kuturan adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan horizontal, maka konsep Tripurusa adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan vertikal.
Danghyang Dwijendra mempunyai Bhiseka lain : Mpu / Danghyang Nirarta, dan dijuluki : Pedanda Sakti Wawu Rawuh karena beliau mempunyai kemampuan supra natural yang membuat Dalem Waturenggong sangat kagum sehingga beliau diangkat menjadi Bhagawanta (pendeta kerajaan).
Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat pekraman dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan.
Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kekawin. Karya sastra beliau yang terkenal antara lain : Sebun bangkung, Sara kusuma, Legarang, Mahisa langit, Dharma pitutur, Wilet Demung Sawit, Gagutuk menur, Brati Sesana, Siwa Sesana, Aji Pangukiran, dll.
Beliau juga aktif mengunjungi rakyat di berbagai pedesaan untuk memberikan Dharma wacana.
Saksi sejarah kegiatan ini adalah didirikannya Pura-pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim membimbing umat misalnya : Purancak, Rambut siwi, Pakendungan, Hulu watu, Bukit Gong, Bukit Payung, Sakenan, Air Jeruk, Tugu, Tengkulak, Gowa Lawah, Ponjok Batu, Suranadi (Lombok), Pangajengan, Masceti, Peti Tenget, Amertasari, Melanting, Pulaki, Bukcabe, Dalem Gandamayu, Pucak Tedung, dll.
Ke-enam tokoh suci tersebut telah memberi ciri yang khas pada kehidupan beragama Hindu di Bali sehingga terwujudlah tattwa dan ritual yang khusus yang membedakan Hindu-Bali dengan Hindu di luar Bali.
Dari luar agama Hindu antar satu daerah dengan daerah yang lain tampak berbeda, namun sesungguhnya essensinya sama, bersumber dari ajaran mahaluhur yang universal untuk mewujudkan satyam = kebenaran, sivam=kedamaian dan sundaram=keindahan.
Penerapan agama Hindu agar berhasil harus disesuaikan dengan tujuan (Iksha), kemampuan (Sakti), aturan setempat (Desa) dan waktu (Kala). Namun dalam pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan Tattwa atau kebenaran Veda. Hal inilah yang menyebabkan Hindu di India dan Hindu di Bali atau di mana saja selalu berbeda-beda bentuk penampilan luarnya. Lima pertimbangan ini sebagaimana dutuliskan dalam Manawa Dharma Sastra:
Karyam so'veksya saktimca
Desakaala ca tattvatah
Kurute dharmasiddhiyartham
Visvaruupam punah punah.
(Manawa Dharmasastra VIII.10)
Maksudnya:
Setelah mempertimbangkan iksha (tujuan), sakti (kemampuan), desa (aturan setempat), kala (waktu) dan tattwa (kebenaran) untuk menyukseskan tujuan agama (Dharmasiddhiyartha) maka ia wujudkan dirinya dengan bermacam macam wujud.
Di Bali sinergi Agama Hindu dengan budaya Bali mampu meningkatkan dan mengembangkan kualitas budaya Bali. Dalam sinergi itu tampak Agama Hindu sebagai titik sentral (pusat) yang menjiwai semua aspek budaya Bali.
Agama Hindu bersinergi melalui:
(1) Sistem bahasa, yakni Bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno.
(2) Sistem pengetahuan.
(3) Sistem sosial seperti Desa Pakraman dan Subak.
(4) Sistem peralatan hidup dan teknologi.
(5) Sistem mata pencaharian masyarakat.
(6) Sistem religi, Agama Hindu menghargai kepercayaan lokal, dan
(7) Sistem kesenian seperti Seni Wali (sakral), Seni Bebali (dapat berfungsi sebagai seni sakral dapat pula untuk kegiatan profan), dan Seni Balih-Balihan (hanya untuk hiburan) .
Upacara hendaknya lahir dari hati yang tulus, ikhlas melaksanakan semua aktivitasnya, ikhlas untuk mengorbankan waktu, tenaga, materi dan pikiran. Bentuk aturan/sesajen yang dipersembahkan hendaknya berasal dari keringat sendiri, bukan dari hasil mencuri, meminta atau menipu.
Pelaksanaan aktivitas spiritual sifatnya sangatlah pribadi dan bergantung pada individu masing-masing. Walaupun yang dipelajari sama tapi pengertian dan pemahaman setiap orang itu sangatlah unik, satu sama lain tidak sama, karena manusia memiliki pengalaman yang berbeda, pengetahuan yang berbeda, dibesarkan dalam lingkungan keluarga dan tempat yang berbeda, latar belakang pendidikan yang berbeda, memiliki bakat dan minat yang berbeda pula, pendek kata memiliki guna dan karma yang tidak sama.
Kemerdekaan setiap individu yang merupakan anugrah Hyang Widhi dalam Hindu sangatlah dijaga baik dalam berfikir, berkata dan berbuat. Hindu Dharma tidak pernah menuntut sesuatu pengekangan yang tidak semestinya terhadap kemerdekaan dari kemampuan berpikir, kemerdekaan dari perasaan dan pemikiran manusia. Ia memperkenalkan kebebasan yang paling luas dalam masalah keyakinan dan pemujaan. Hindu Dharma adalah suatu agama pembebasan. Ia memperkenalkan kebebasan mutlak terhadap kemampuan berpikir dan perasaan manusia dengan memandang pertanyaan-pertanyaan yang mendalam terhadap hakekat Tuhan Yang Maha Esa, jiwa, penciptaan, bentuk pemujaan dan tujuan kehidupan ini.
Hindu Dharma tidak bersandar pada satu doktrin tertentu ataupun ketaatan akan beberapa macam ritual tertentu maupun dogma-dogma atau bentuk-bentuk pemujaan tertentu. Ia memperkenalkan kepada setiap orang untuk merenungkan, menyelidiki, mencari dan memikirkannya, oleh karena itu, segala macam keyakinan/Sraddha, bermacam-macam bentuk pemujaan atau Sadhana, bermacam-macam ritual serta adat-istiadat yang berbeda, memperoleh tempat yang terhormat secara berdampingan dalam Hindu Dharma dan dibudayakan serta dikembangkan dalam hubungan yang selaras antara yang satu dengan yang lainnya
Hindu Dharma sangatlah universal, bebas, toleran dan luwes. Inilah gambaran indah tentang Hindu Dharma. Seorang asing merasa terpesona keheranan apabila mendengar tentang sekta-sekta dan keyakinan yang berbeda -beda dalam Hindu Dharma; tetapi perbedaan-perbedaan itu sesungguhnya merupakan berbagai tipe pemahaman dan tempramen, sehingga menjadi keyakinan yang bermacam-macam pula. Hal ini adalah wajar. Hal ini merupakan ajaran yang utama dari Hindu Dharma; karena dalam Hindu dharma tersedia tempat bagi semua tipe pemikiran dari yang tertinggi sampai yang terendah, demi untuk pertumbuhan dan evolusi mereka. (Svami Sivananda,1988:134).
Hindu Dharma mempunyai banyak kamar untuk setiap keyakinan dan Hindu Dharma merangkum semua keyakinan tersebut dengan toleransi yang sangat luas. (Max Muller)
Agama Hindu menyerupai sebatang pohon yang tumbuh perlahan dibandingkan sebuah bangunan yang dibangun oleh arsitek besar pada saat tertentu. (Dr. K.M. Sen)
Perbedaan adalah sesuatu yang sangat alamiah sifatnya. Sangatlah wajar bila ada perbedaan antara satu wilayah dengan wilayah yang lain dalam satu negara, apalagi dalam teriorial yang lebih besar, antara Hindu India dan Hindu Indonesia. Namun hendaknya perbedaan ini janganlah dipertentangkan, ini dipahami sebagai sesuatu yang alami. Perbedaan ini merupakan bukti nyata betapa alamiahnya Agama Hindu, sangat sesuai dengan pernyataan awal “Being spiritual is being natural”.
Untuk mengakhiri karya kecil ini perkenankanlah saya mengutip pernyataan dari tokoh agama kita Mahatma Gandhi (2004:166)
“Aku tidak ingin setiap sisi rumahku tertutup tembok dengan jendela serta pintu yang terkunci. Aku ingin budaya dari semua negeri berhembus ke dalam rumahku sebebas mungkin. Yang ada padaku bukanlah suatu agama yang seperti penjara”
Langganan:
Postingan (Atom)