Subscribe:

Jumat

PERBEDAAN HINDU INDIA DAN HINDU INDONESIA

Om Swastyastu,

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan banyak kemudahan bagi kehidupan manusia di berbagai bidang. Informasi dari berbagai Negara sangat mudah didapat dengan semakin majunya teknologi informasi. Kemudahan-kemudahan ini membantu kita untuk mendapatkan informasi adanya kebutuhan tenaga Kerja di Negara-negara tetangga dengan berbagai paket yang ditawarkan.

Keadaan ekonomi yang masih belum mapan di negeri kita mendorong banyak tenaga-tenaga professional hijrah dari Indonesia ke seluruh penjuru dunia. Dalam kesehariannya mereka berkomunikasi dengan berbagai macam budaya, agama, ras, suku bangsa dan bahasa.

Perbedaan yang ada menimbulkan banyak pertanyaan, hal ini wajar saja karena sifat manusia yang memang selalu ingin mengetahui lebih dalam tentang segala sesuatu hal. Salah satu pertanyaan yang sering kami terima dari temen-temen kerja terutama dari agama lain adalah, “Kenapa Hindu Indonesia (Bali) berbeda dengan Hindu India..?”.

Kalo dilihat dari sisi luar, perbedaan antara Hindu Indonesia dengan Hindu India sangat kentara. Baik dari makanan yang dimakan, Pakaian sembahyang, Hari Suci yang dirayakan maupun hal-hal lain yang bisa dilihat dengan kasat mata. Sebagai contoh, rekan-rekan kerja kami yang berasal dari negeri anak benoa dimana Veda diwahyukan, mereka mayoritas vegetarian, sementara kami dari Indonesia mayoritas non vegetarian. Kami sembahyang tiga kali yang disebut dengan Tri Sandhya, mereka temen-temen dari India biasanya sembahyang dua kali pagi dan sore.

Sebenarnya seperti apakah spiritual Hindu itu…? Mari kita renungkan bersama.

“Being spiritual is being natural” ungkapan ini sangat sering kita dengarkan dari para penekun spiritual di berbagai negara. Benarkah seperti itu…? Bila ditelusuri lebih dalam, memang sesungguhnya kembali ke alam itu yang membuat kita menjadi damai dan tenang. Angin yang sejuk, hamparan tetumbuhan yang menghijau, gemericik air jernih sungai di pegunungan, kicauan burung yang merdu dengan beraneka lagu dan nada, tidak bisa kita pungkiri telah membangun kenyamanan, menciptakan ketengan pikiran dan kedamaian di hati.

Tak heran bila banyak para pelancong rela berkunjung ke Negara-negara yang jauh dari negerinya demi mendapatkan suasana baru, yang memberikan kenyamanan. “Back to the nature” katanya. Mungkin ini pula alasan kenapa Candi, Pura/Temple dibangun di tempat-tempat yang Indah dan hijau, dipuncak gunung, di tepi pantai, di pinggir sungai atau danau. Hal ini pun saya rasakan sendiri, ketika berada di pura luhur Lempuyang misalnya; melihat hamparan hutan menghijau yang luas, samudra yang membiru membentang di hadapan kita, langit yang cerah dengan sinar mentarinya yang demikian kuat menyapu kegelapan menerangi maya pada ini, membuat saya merasa sangat kecil, seluruh ego tersedot habis digantikan dengan perasaan lain yang sangat nyaman yang sangat sulit dilukiskan dengan kata-kata, mungkin ini yang disebut cinta dan kasih murni.

Demikian pula halnya Agama Hind, dalam setiap ajarannya selalu mengajarkan kedamaian, dekat dengan alam, mempersembahkan aneka hasil alam kepada Hyang Maha Kuasa, menghormati semua unsur di alam ini. Mulai dari tetumbuhan dengan adanya tumpek wariga, hewan ada tumpek kandang, alat-alat atau senjata/perkakas, tumpek landep, buku/pustaka ada hari saraswati, semua energi atau mahluk-mahluk bawahan yang tampak maupun tidak tampak yang dikenal dengan butha yadnya. Menjaga keharmonisan dengan Tuhan dengan upacara Deva yadnya, dengan menjalin harmonisasi dengan sesama manusia ada upacara Rsi Yadnya, Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya, melalui sila karma, pesantian, menyama braya. Ketiga hubungan harmonis ini di Bali dikenal dengan Tri Hita Karana, tiga keharmonisan yang membawa pada suasana kebahagiaan.

Keihlasan dalam segala aktivitas dan keharmonisan adalah inti dari semua aktivitas spiritual Hindu, Keharmonisan inipun terjalin dengan budaya local yang melahirkan senergi yang mampu menghadirkan kedamaian di setiap hati sanubari penganutnya. Agama Hindu Dharma total lebur dengan budaya local yang menghasilkan bentuk pemujaan yang berbeda-beda.

Kalo kita buka kembali pelajaran Agama Hindu, sesungguhnya agama kita memiliki tiga batang tubuh (tri kerangka dasar) yang terdiri dari:

1. Tatwa : Filsafat
2. Etika: Susila
3. Ritual: Upacara

Untuk Tattwa/filsafat dan Etika atau Susila, akan kita temukan kesamaan di seluruh penganut agama Hindu dimanapun mereka berada. Sumber utama dari Tattwa adalah Kitab Suci Veda. Kemudian dijelaskan dalam Upanisad, Dharmasastra, Itihasa/Wiracarita seperti Mahabharata dan Ramayana, Bhagavad Gita, Yoga Wasista, Wrehaspati Tattwa, Sarasammuccaya, Srimad Bhagavatam, dan lain-lain.

Di Bali ada lagi lontar-lontar yang ditulis oleh para Mpu yang telah mencapai tingkatan spiritual yang tinggi seperti: lontar sundari gama, lontar buana kosa, lontar sangkul putih, dan lain-lain.

Salah satu contoh kesamaan ajaran yang bisa dijumpai di berbagai daerah di Indonesia maupun di India adalah Lima Keyakinan yang dikenal dengan nama Panca Sradda yaitu:
1. Percaya dengan adanya Tuhan,
2. Percaya dengan adanya Atman,
3. Percaya dengan adanya Hukum Karma Phala,
4. Percaya dengan adanya Reinkarnasi/Punarbawa/Samsara,
5. Percaya dengan adanya Moksa.

Panca Sradda merupakan inti kepercayaan agama Hindu, dapat kita jumpai dengan berbagai bahasa sesuai dengan wilayah dimana penganutnya berada.

Dalam Etika yang merupakan perwujudan nyata dari aplikasi tattwa yang telah dipelajari, pun tampak kesamaan, semua orang Hindu akan berusaha untuk tidak menyakiti atau menyiksa mahluk lain (Ahimsa). Semua orang hindu berusaha memperlakukan manusia yang lain seperti saudaranya, “Vasudaiva Kutum Bakam” Semua mahluk dilahirkan bersaudara. “Tat Twam Asi” artinya; kamu adalah aku, aku adalah kami, bila aku menyakitimu, sama dengan aku menyakiti diriku sendiri. Selalu berkata jujur (Arjawa), Setia pada kata hati/nurani (Satya Hredaya), Setia pada janji (Satya Samaya), Setia pada perkataan (Satya Wacana), setia/ berani bertanggung jawab pada perbuatannya (Satya Laksana’), setia pada kawan (Satya Mitra). Menjaga pikiran, perbuatan dan perkataannya selaras, selalu terkondisi pada kebaikan (Tri Kaya Parisudha; Manacika =pikiran suci, Wacika=perkataan suci dan Kayika=perbuatan yang suci).

Setiap orang hindu melakukan sembahyang memuja Tuhan dan Leluhur, melakukan puasa, melakukan punia (yadnya) tidak perduli entah dia orang India, orang Bali, orang Jawa, orang Sulawesi, orang Lampung, orang Lombok, orang Belgia, orang Amerika, ataupun orang Australia.

Perbedaan mulai tampak pada kerangka dasar yang ketiga yaitu yang disebut dengan Upacara atau Ritual dan Hari Raya. Di sini tradisi dari masing-masing wilayah mewarnai setiap upacara yang ada. Histori di setiap daerahpun berbeda, peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dalam perjalanan juga tidak sama, sehingga melahirkan perayaan Hari Raya yang berbeda guna memperingati peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah kehidupan manusia yang pernah terjadi, yang nantinya bisa selalu diingat dan dijadikan suri teladan dalam mengarungi kehidupan di maya pada ini.

Jangankan Hindu India dan Indonesia, antara Hindu Bali dengan di Jawa saja ada banyak perbedaan, untuk memahami perbedaan-perbedaan ini mari kita tengok sejarah perkembangan Hindu di Bali seperti yang dituturkan oleh Ida Pandita Nabe Sri Bhagavan Dwija dalam karyanya: “Hindu dalam Wacana Bali Sentris”

Pengantar Agama Hindu untuk perguruan tinggi, Cudamani, 1990 ada tujuh Maha Rsi yaitu Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasista, dan Kanwa yang menerima wahyu Weda di India sekitar 2500 tahun sebelum Masehi.

Mereka mengembangkan agama Hindu masing-masing menurut bagian-bagian Weda tertentu. Kemudian para pengikutnya mengembangkan ajaran yang diterima dari guru mereka sehingga lama kelamaan terbentuklah sekta-sekta yang jumlahnya ratusan. Sekta-sekta yang terbanyak pengikutnya antara lain: Pasupata, Linggayat Bhagawata, Waisnawa, Indra, Saura, dan Siwa Sidhanta.

Sekta Siwa Sidhanta dipimpin oleh Maha Rsi Agastya di daerah Madyapradesh (India tengah) kemudian menyebar ke Indonesia. Di Indonesia seorang Maha Rsi pengembang sekta ini yang berasal dari pasraman Agastya Madyapradesh dikenal dengan berbagai nama antara lain: Kumbhayoni, Hari Candana, Kalasaja, dan Trinawindu. Yang populer di Bali adalah nama Trinawindu atau Bhatara Guru, begitu disebut-sebut dalam lontar kuno seperti Eka Pratama.

Ajaran Siwa Sidhanta mempunyai ciri-ciri khas yang berbeda dengan sekta Siwa yang lain. Sidhanta artinya kesimpulan sehingga Siwa Sidanta artinya kesimpulan dari Siwaisme. Kenapa dibuat kesimpulan ajaran Siwa? karena Maha Rsi Agastya merasa sangat sulit menyampaikan pemahaman kepada para pengikutnya tentang ajaran Siwa yang mencakup bidang sangat luas.

Diibaratkan seperti mengenalkan binatang gajah kepada orang buta; jika yang diraba kakinya, maka orang buta mengatakan gajah itu bentuknya seperti pohon kelapa; bila yang diraba belalainya mereka mengatakan gajah itu seperti ular besar. Metode pengenalan yang tepat adalah membuat patung gajah kecil yang bisa diraba agar si buta dapat memahami anatomi gajah keseluruhan.

Bagi penganut Siwa Sidhanta kitab suci Weda-pun dipelajari yang pokok-pokok / intinya saja; resume Weda itu dinamakan Weda Sirah (sirah artinya kepala atau pokok-pokok). Lontar yang sangat populer bagi penganut Siwa Sidhanta di Bali antara lain Wrhaspati Tattwa. Pemantapan paham Siwa Sidhanta di Bali dilakukan oleh dua tokoh terkemuka yaitu Mpu Kuturan dan Mpu/Danghyang Nirartha.

Di India wahyu Hyang Widhi diterima oleh Sapta Rsi dan dituangkan dalam susunan sistematis oleh Bhagawan Abyasa dalam bentuk Catur Weda. Pengawi dan ahli Weda I Gusti Bagus Sugriwa dalam bukunya: Dwijendra Tattwa, Upada Sastra, 1991 menyiratkan bahwa di Bali wahyu Hyang Widhi diterima setidak-tidaknya oleh enam Maha Rsi. Wahyu-wahyu itu memantapkan pemahaman Siwa Sidhanta meliputi tiga kerangka Agama Hindu yaitu Tattwa, Susila, dan Upacara. Wahyu-wahyu itu berupa pemikiran-pemikiran cemerlang dan wangsit yang diterima oleh orang-orang suci di Bali sekitar abad ke delapan sampai ke-empat belas yaitu :

1. DANGHYANG MARKANDEYA

Pada abad ke-8 beliau mendapat wahyu di Gunung Di Hyang (sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan palinggih di Tolangkir (sekarang Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah.

Setelah menetap di Taro, Tegal lalang - Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siwa Sidhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya sewana, Bebali (banten), dan Pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali maka ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali.

Daerah tempat tinggal beliau dinamakan Bali. Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa Sidanta menurut petunjuk-petunjuk Danghyang Markandeya yang menggunakan bebali atau banten.

Selain Besakih, beliau juga membangun pura-pura Sad Kahyangan lainnya yaitu: Batur, Sukawana, Batukaru, Andakasa, dan Lempuyang.

Beliau juga mendapat wahyu ketika Hyang Widhi berwujud sebagai sinar terang gemerlap yang menyerupai sinar matahari dan bulan. Oleh karena itu beliau menetapkan bahwa warna merah sebagai simbol matahari dan warna putih sebagai simbol bulan digunakan dalam hiasan di Pura antara lain berupa ider-ider, lelontek, dll.

Selain itu beliau mengenalkan hari Tumpek Kandang untuk mohon keselamatan pada Hyang Widhi, digelari Rare Angon yang menciptakan darah, dan hari Tumpek Pengatag untuk menghormati Hyang Widhi, digelari Sanghyang Tumuwuh yang menciptakan getah.


2. MPU SANGKULPUTIH

Setelah Danghyang Markandeya moksah, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhan lainnya seperti daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan: pisang, kelapa, dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak.

Bentuk banten yang diciptakan antara lain canang sari, canang tubugan, canang raka, daksina, peras, panyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe, dll. Banten dibuat menarik dan indah untuk menggugah rasa bhakti kepada Hyang Widhi agar timbul getaran-getaran spiritual.

Di samping itu beliau mendidik para pengikutnya menjadi sulinggih dengan gelar Dukuh, Prawayah, dan Kabayan.

Beliau juga pelopor pembuatan arca/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi.

Tak kurang pentingnya, beliau mengenalkan tata cara pelaksanan peringatan hari Piodalan di Pura Besakih dan pura-pura lainnya, ritual hari-hari raya : Galungan, Kuningan, Pagerwesi, Nyepi, dll.

Jabatan resmi beliau adalah Sulinggih yang bertanggung jawab di Pura Besakih dan pura-pura lainnya yang telah didirikan oleh Danghyang Markandeya.


3. MPU KUTURAN

Pada abad ke-11 datanglah ke Bali seorang Brahmana dari Majapahit yang berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali.

Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan Pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih.

Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangider-ider).


4. MPU MANIK ANGKERAN

Setelah Mpu Sangkulputih moksah, tugas-tugas beliau diganti oleh Mpu Manik Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra.

Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut segara rupek.

5. MPU JIWAYA

Beliau menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran Tantri terutama kepada kaum bangsawan di zaman Dinasti Warmadewa (abad ke-9).

Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dll.

6. DANGHYANG DWIJENDRA

Datang di Bali pada abad ke-14 ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaannya adalah Padmasari atau Padmasana.

Jika konsep Trimurti dari Mpu Kuturan adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan horizontal, maka konsep Tripurusa adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan vertikal.

Danghyang Dwijendra mempunyai Bhiseka lain : Mpu / Danghyang Nirarta, dan dijuluki : Pedanda Sakti Wawu Rawuh karena beliau mempunyai kemampuan supra natural yang membuat Dalem Waturenggong sangat kagum sehingga beliau diangkat menjadi Bhagawanta (pendeta kerajaan).

Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat pekraman dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan.

Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kekawin. Karya sastra beliau yang terkenal antara lain : Sebun bangkung, Sara kusuma, Legarang, Mahisa langit, Dharma pitutur, Wilet Demung Sawit, Gagutuk menur, Brati Sesana, Siwa Sesana, Aji Pangukiran, dll.

Beliau juga aktif mengunjungi rakyat di berbagai pedesaan untuk memberikan Dharma wacana.

Saksi sejarah kegiatan ini adalah didirikannya Pura-pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim membimbing umat misalnya : Purancak, Rambut siwi, Pakendungan, Hulu watu, Bukit Gong, Bukit Payung, Sakenan, Air Jeruk, Tugu, Tengkulak, Gowa Lawah, Ponjok Batu, Suranadi (Lombok), Pangajengan, Masceti, Peti Tenget, Amertasari, Melanting, Pulaki, Bukcabe, Dalem Gandamayu, Pucak Tedung, dll.

Ke-enam tokoh suci tersebut telah memberi ciri yang khas pada kehidupan beragama Hindu di Bali sehingga terwujudlah tattwa dan ritual yang khusus yang membedakan Hindu-Bali dengan Hindu di luar Bali.

Dari luar agama Hindu antar satu daerah dengan daerah yang lain tampak berbeda, namun sesungguhnya essensinya sama, bersumber dari ajaran mahaluhur yang universal untuk mewujudkan satyam = kebenaran, sivam=kedamaian dan sundaram=keindahan.

Penerapan agama Hindu agar berhasil harus disesuaikan dengan tujuan (Iksha), kemampuan (Sakti), aturan setempat (Desa) dan waktu (Kala). Namun dalam pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan Tattwa atau kebenaran Veda. Hal inilah yang menyebabkan Hindu di India dan Hindu di Bali atau di mana saja selalu berbeda-beda bentuk penampilan luarnya. Lima pertimbangan ini sebagaimana dutuliskan dalam Manawa Dharma Sastra:

Karyam so'veksya saktimca
Desakaala ca tattvatah
Kurute dharmasiddhiyartham
Visvaruupam punah punah.
(Manawa Dharmasastra VIII.10)

Maksudnya:
Setelah mempertimbangkan iksha (tujuan), sakti (kemampuan), desa (aturan setempat), kala (waktu) dan tattwa (kebenaran) untuk menyukseskan tujuan agama (Dharmasiddhiyartha) maka ia wujudkan dirinya dengan bermacam macam wujud.
Di Bali sinergi Agama Hindu dengan budaya Bali mampu meningkatkan dan mengembangkan kualitas budaya Bali. Dalam sinergi itu tampak Agama Hindu sebagai titik sentral (pusat) yang menjiwai semua aspek budaya Bali.

Agama Hindu bersinergi melalui:
(1) Sistem bahasa, yakni Bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno.
(2) Sistem pengetahuan.
(3) Sistem sosial seperti Desa Pakraman dan Subak.
(4) Sistem peralatan hidup dan teknologi.
(5) Sistem mata pencaharian masyarakat.
(6) Sistem religi, Agama Hindu menghargai kepercayaan lokal, dan
(7) Sistem kesenian seperti Seni Wali (sakral), Seni Bebali (dapat berfungsi sebagai seni sakral dapat pula untuk kegiatan profan), dan Seni Balih-Balihan (hanya untuk hiburan) .

Upacara hendaknya lahir dari hati yang tulus, ikhlas melaksanakan semua aktivitasnya, ikhlas untuk mengorbankan waktu, tenaga, materi dan pikiran. Bentuk aturan/sesajen yang dipersembahkan hendaknya berasal dari keringat sendiri, bukan dari hasil mencuri, meminta atau menipu.

Pelaksanaan aktivitas spiritual sifatnya sangatlah pribadi dan bergantung pada individu masing-masing. Walaupun yang dipelajari sama tapi pengertian dan pemahaman setiap orang itu sangatlah unik, satu sama lain tidak sama, karena manusia memiliki pengalaman yang berbeda, pengetahuan yang berbeda, dibesarkan dalam lingkungan keluarga dan tempat yang berbeda, latar belakang pendidikan yang berbeda, memiliki bakat dan minat yang berbeda pula, pendek kata memiliki guna dan karma yang tidak sama.

Kemerdekaan setiap individu yang merupakan anugrah Hyang Widhi dalam Hindu sangatlah dijaga baik dalam berfikir, berkata dan berbuat. Hindu Dharma tidak pernah menuntut sesuatu pengekangan yang tidak semestinya terhadap kemerdekaan dari kemampuan berpikir, kemerdekaan dari perasaan dan pemikiran manusia. Ia memperkenalkan kebebasan yang paling luas dalam masalah keyakinan dan pemujaan. Hindu Dharma adalah suatu agama pembebasan. Ia memperkenalkan kebebasan mutlak terhadap kemampuan berpikir dan perasaan manusia dengan memandang pertanyaan-pertanyaan yang mendalam terhadap hakekat Tuhan Yang Maha Esa, jiwa, penciptaan, bentuk pemujaan dan tujuan kehidupan ini.

Hindu Dharma tidak bersandar pada satu doktrin tertentu ataupun ketaatan akan beberapa macam ritual tertentu maupun dogma-dogma atau bentuk-bentuk pemujaan tertentu. Ia memperkenalkan kepada setiap orang untuk merenungkan, menyelidiki, mencari dan memikirkannya, oleh karena itu, segala macam keyakinan/Sraddha, bermacam-macam bentuk pemujaan atau Sadhana, bermacam-macam ritual serta adat-istiadat yang berbeda, memperoleh tempat yang terhormat secara berdampingan dalam Hindu Dharma dan dibudayakan serta dikembangkan dalam hubungan yang selaras antara yang satu dengan yang lainnya

Hindu Dharma sangatlah universal, bebas, toleran dan luwes. Inilah gambaran indah tentang Hindu Dharma. Seorang asing merasa terpesona keheranan apabila mendengar tentang sekta-sekta dan keyakinan yang berbeda -beda dalam Hindu Dharma; tetapi perbedaan-perbedaan itu sesungguhnya merupakan berbagai tipe pemahaman dan tempramen, sehingga menjadi keyakinan yang bermacam-macam pula. Hal ini adalah wajar. Hal ini merupakan ajaran yang utama dari Hindu Dharma; karena dalam Hindu dharma tersedia tempat bagi semua tipe pemikiran dari yang tertinggi sampai yang terendah, demi untuk pertumbuhan dan evolusi mereka. (Svami Sivananda,1988:134).

Hindu Dharma mempunyai banyak kamar untuk setiap keyakinan dan Hindu Dharma merangkum semua keyakinan tersebut dengan toleransi yang sangat luas. (Max Muller)
Agama Hindu menyerupai sebatang pohon yang tumbuh perlahan dibandingkan sebuah bangunan yang dibangun oleh arsitek besar pada saat tertentu. (Dr. K.M. Sen)
Perbedaan adalah sesuatu yang sangat alamiah sifatnya. Sangatlah wajar bila ada perbedaan antara satu wilayah dengan wilayah yang lain dalam satu negara, apalagi dalam teriorial yang lebih besar, antara Hindu India dan Hindu Indonesia. Namun hendaknya perbedaan ini janganlah dipertentangkan, ini dipahami sebagai sesuatu yang alami. Perbedaan ini merupakan bukti nyata betapa alamiahnya Agama Hindu, sangat sesuai dengan pernyataan awal “Being spiritual is being natural”.

Untuk mengakhiri karya kecil ini perkenankanlah saya mengutip pernyataan dari tokoh agama kita Mahatma Gandhi (2004:166)

“Aku tidak ingin setiap sisi rumahku tertutup tembok dengan jendela serta pintu yang terkunci. Aku ingin budaya dari semua negeri berhembus ke dalam rumahku sebebas mungkin. Yang ada padaku bukanlah suatu agama yang seperti penjara”


0 komentar:

Posting Komentar